Bisnis.com, JAKARTA - Every cloud has a silver lining, memiliki arti bahwa setiap kesedihan pasti memiliki hikmah atau pelajaran berharga yang dapat diambil.
Pada saat ekonomi global mulai bangkit dari efek pandemi, dunia dikejutkan oleh konflik militer antara Rusia dan Ukraina. Reaksi spontan negara-negara utama dunia adalah mengenakan berbagai sanksi ekonomi dan finansial kepada Rusia guna mendesak Presiden Vladimir Putin menghentikan invasi terhadap Ukraina.
Serangan tersebut menggoncangkan upaya pemulihan ekonomi global terutama Eropa karena mengimpor hampir 40 persen kebutuhan gas alamnya dari Rusia. Dampak konflik militer juga melambungkan harga minyak dunia, terutama karena Rusia merupakan salah satu produsen minyak bumi terbesar di dunia. Rusia juga produsen utama logam dan besi baja. Data dari UN Comtrade menunjukkan bahwa Finlandia, sebagai contoh, mengimpor lebih dari 90 persen produk baja berbasis nikel dari Rusia.
Amerika Serikat (AS) membeli 3,5 juta metrik tons pig iron—bahan baku baja—dari Rusia dan Ukraina pada 2020. Jumlah ini merupakan 3/4 dari keseluruhan impor logam AS pada tahun tersebut. Rusia juga diketahui memasok lebih dari separuh kebutuhan aluminium Turki. Demikian juga Belgia memenuhi 80 persen kebutuhan besi baja nasionalnya dari Rusia.
Ukraina adalah salah satu negara produsen pertanian utama. Negeri ini merupakan eksportir gandum ke-5 terbesar dunia. Banyak negara di kawasan Asia dan Afrika mengandalkan impor gandum asal Ukraina, seperti Libya dan Lebanon yang pangsa impor gandumnya sebesar 43%, dan 50 persen.
Mesir dan Turki juga mengimpor lebih dari 50 persen gandumnya dari Ukraina dan Rusia. Sementara menurut data BPS, impor Indonesia dari Ukraina pada 2021 juga didominasi oleh gandum yaitu senilai US$946,5 juta atau 95 persen dari total impor Indonesia dari Ukraina yang mencapai US$1,04 miliar.
Baca Juga
Konflik tersebut akan berdampak negatif dan positif terhadap neraca perdagangan Indonesia.
Dari sisi perdagangan migas, karena Indonesia merupakan net importir migas maka impor Indonesia berpotensi membengkak karena harga minyak melambung. Namun, di sisi lain Indonesia memiliki peluang memanfaatkan situasi ini karena naiknya harga komoditas, misalnya minyak sawit dan batu bara.
Indonesia juga harus segera mencari negara alternatif pemasok gandum selain Ukraina. Harga gandum diperkirakan akan terus merangkak naik di tengah eskalasi konflik Rusia-Ukraina. Akibatnya, produk turunan gandum seperti tepung terigu, mi, roti hingga kue dikhawatirkan akan ikut terkerek.
Awan perak di balik konflik ini adalah Indonesia dapat menjadi negara alternatif suplai dunia menggantikan Rusia atau Ukraina. Minyak sawit Indonesia, misalnya, dapat menjadi alternatif pasokan minyak biji bunga matahari untuk kawasan UE yang selama ini mengandalkan Rusia dan Ukraina.
Indonesia juga berpeluang meningkatkan pengapalan minyak sawit ke India dan China guna menggantikan impor minyak biji bunga matahari yang mencapai masing-masing 79,6 persen dan 56,6 persen dari kebutuhan nasional kedua negara tersebut.
Naiknya harga minyak mentah dunia dan terdisrupsinya pasokan migas dari Rusia juga akan mendorong naiknya permintaan batu bara. Selama ini Polandia tercatat mengimpor batu bara dari Rusia sejumlah 56,6 persen dari kebutuhan energinya. Sementara pemenuhan energi Maroko yang berasal dari batu bara dengan pangsa 70,2 persen juga dikapalkan dari Rusia. Indonesia dapat mengambil alih pangsa impor Rusia untuk negara-negara tersebut.
Indonesia juga dapat mengalihkan ekspor produk besi baja nonpaduan yang selama ini dipasok oleh Rusia dan Ukraina ke negara-negara seperti Italia, Turki, Belgia, Filipina untuk kebutuhan konstruksi mereka.
Negara-negara itu mencatatkan pangsa impor sebesar masing-masing 54,1 persen, 56 persen, 79,6 persen, dan 50,6 persen dari kebutuhan nasional. Sementara ekspor produk aluminium/stainless steel dapat ditingkatkan ke negara-negara UE, Balkan dan Turki.
Tantangan yang akan menghadang utamanya adalah ketersediaan kontainer serta kenaikan harga freight yang signifikan untuk kargo pengiriman ekspor, terdisrupsinya rantai pasok dan durasi waktu pengiriman.
Biaya produksi juga akan meningkat karena peningkatan biaya energi. Pemerintah perlu segera membuat putusan yang tepat untuk memastikan efisiensi rantai pasok dan melakukan mitigasi meroketnya harga minyak.
Akhirnya, di tengah eskalasi konflik yang masih penuh dengan ketidakpastian Indonesia memiliki peluang untuk menjadi negara alternatif pemasok yang ditinggalkan oleh Rusia dan Ukraina. Namun, Pemerintah perlu mewaspadai para produsen domestik agar mereka tidak hanya tergiur untuk ekspor. Mereka tetap harus memperhatikan pemenuhan kewajiban domestic market obligation untuk keperluan stabilitas dan kontinuitas suplai minyak sawit dan batu bara di dalam negeri.