Bisnis.com, JAKARTA – Tingginya harga minyak dunia sebagai imbas perang Rusia-Ukraina juga turut menjadi kekhawatiran tersendiri bagi maskapai nasional atas kenaikan harga avtur.
Pemerhati penerbangan dari Jaringan Penerbangan Indonesia (Japri) Gerry Soejatman menjelaskan meroketnya harga minyak dunia dan konflik dua negara tersebut terjadi di tengah kebijakan pemerintah merelaksasi syarat perjalanan domestik dan penerbangan internasional. Perang antara Rusia-Ukraina pun berpotensi memperlambat upaya pemulihan yang sedang dijalankan oleh pemerintah.
Dampak utamanya, kata dia, dari perang tersebut adalah persoalan harga avtur. Gerry menyebut harga minyak dunia naik ke angka tertinggi sejak 2008.
“Harga avtur naik ini pasti akan bikin pusing maskapai. Tapi mudah-mudahan tidak ada gelombang baru, sehingga maskapai bisa memulihkan kembali pendapatan di periode lebaran, liburan tengah tahun, dan akhir tahun secara lengkap pertama kalinya sejak pandemi,” ujarnya, Selasa (8/3/2022).
Selain menyoroti imbas harga avtur, Gerry juga mengamati kendala berkurangnya turis asal Rusia untuk bepergian ke Bali. Hal ini terjadi saat Bandara Ngurah Raii di Bali dibuka untuk wisatawan mancanegara.
Menurutnya, jumlah turis Rusia yang selama ini mengunjungi Bali cukup banyak tetapi biasanya mereka terbang lewat maskapai Timur Tengah. Tak hanya itu, dampak dari perang Rusia-Ukraina, juga akan mendorong banyak lessor yang harus menarik pesawat mereka dari Rusia.
Apabila hal tersebut dilakukan, tekan Gerry, akan ada banyak pesawat yang ‘menganggur’ kembali. Di sisi lain, tumpukan jumlah pesawat menganggur ini memberikan tekanan terhadap harga sewa/leasing.
Turunnya tarif sewa diharapkan bisa menjadi peluang bagi maskapai nasional untuk berburu pesawat murah.
Senada, pengamat penerbangan Arista Atmadjati menilai meroketnya harga minyak dunia turut memukul industri penerbangan. Arista menyebut rata-rata anggaran avtur maskapai domestik dalam rentang harga US$80-90 per barel.
Bahkan, dia menilai kondisi harga minyak dunia ini bisa menjadi pukulan ketiga bagi maskapai setelah Covid-19 varian Delta dan Omicron. Maskapai, sebutnya, harus mulai melakukan langkah-langkah efisiensi internal yang ketat. Langkah ekstrem harus dilakukan jajaran direksi maskapai untuk melakukan efisiensi.
“Misal efisiensinya tidak usah ada jemputan mobil untuk datang dan pergi pakai mobil perusahaan,” ujarnya.