Bisnis.com, JAKARTA - Pelaku usaha tekstil dalam negeri mengantisipasi kenaikan harga polyester menyusul konflik Rusia-Ukraina yang mengerek harga minyak dunia.
Polyester diketahui terbuat dari senyawa ethylene glycol dan asam tereftalat yang dikombinasikan dengan polyethylene terephathalate (PET) yang berasal dari minyak bumi.
Sekjen Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan industri telah mengalami kenaikan harga bahan baku sejak tahun lalu. Konflik Rusia-Ukraina kemungkinan besar akan menjadi bahan bakar baru bagi keberlanjutan kenaikan harga bahan baku tekstil.
"Minyak naik, bahan baku pasti naik, terutama polyester dan rayon," kata Redma saat dihubungi Bisnis, Selasa (1/3/2022).
Selain bahan baku, biaya energi terutama gas juga akan naik menyusul pasokan Uni Eropa yang menyusut dari Rusia. Pasokan liquefied natural gas (LNG) ke Indonesia yang banyak dipasok dari Timur Tengah, kemungkinan juga akan mengalir ke Eropa sehingga menyebabkan naiknya permintaan dan harga.
Namun demikian, kenaikan harga minyak dunia tidak akan langsung terlimpah ke polyester karena proses produksi yang cukup panjang.
Baca Juga
Meski terpengaruh gejolak ekonomi politik global, industri tekstil bertumpu pada pasar domestik untuk pemulihan kinerja pada tahun ini. Redma mengatakan sepanjang pasar dan permintaan dalam negeri terjaga, industri masih bisa tumbuh.
Dia mengatakan tidak ada dampak yang berarti dari penyebaran Covid-19 varian Omicron ke operasional industri. Utilitas industri masih terjaga dengan permintaan luar negeri yang juga belum menunjukkan penurunan.
"Kalau di tekstil, kami tidak ada masalah soal Omicron, kami tetap produksi normal," ujarnya.
Menurut catatan Kementerian Perindustrian, rata-rata utilitas kapasitas industri tekstil pada tahun lalu tercatat sebesar 69,42 persen, 74,4 persen untuk industri pakaian jadi, dan 72,05 persen untuk industri kulit, barang dari kulit, dan alas kaki.
Dari sisi volume produksi, industri tekstil masih mengalami kontraksi sebesar 3,97 persen dari 7,20 juta ton pada 2020 menjadi 6,92 juta ton pada 2021. Adapun, volume produksi pakaian jadi tumbuh 14,47 persen dari 1,41 juta ton pada 2020 menjadi 1,62 juta ton pada 2021.
Industri kulit, barang dari kulit, dan alas kaki mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 33,42 persen dari 793,8 juta pasang menjadi 1.05 miliar pasang pada 2021.