Bisnis.com, JAKARTA - Kasus kelangkaan minyak goreng yang terjadi di dalam negeri sejak beberapa waktu terakhir menjadi perhatian berbagai pihak.
Terlebih lagi, Indonesia merupakan penghasil Crude Palm Oil (CPO) terbesar di dunia.
Politikus Partai Gerindra dan Anggota DPR RI Fadli Zon menilai kondisi kelangkaan minyak goreng yang terjadi saat ini merupakan sebuah ironi dan membuktikan ketidamampuan pemerintah.
"Berlarut-larutnya permasalahan ini membuktikan bukan saja betapa buruk dan lambatnya penanganan pemerintah, tapi juga cermin ketidakpekaan terhadap kesulitan masyarakat yg telah tercekik di tengah krisis pandemi," tulis Fadli Zon melalui akun Twitternya, Rabu (23/2/2022).
Terkait kondisi kelangkaan ini, pemerintah, kata Fadli, tentu memiliki segudang alasan. Mulai dari naiknya harga CPO di pasar global hingga meningkatnya lonjakan kebutuhan CPO. Namun persoalan tersebut dianggap sebagai problem klise yang sebenarnya sudah dapat diprediksi.
Baca Juga
"Karena tak adanya langkah antisipatif yang tepat, kondisi semakin amburadul. Masyarakatlah yang harus menanggung kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng," jelasnya.
Berdasarkan catatan Ombudsman, dijelaskan Fadli, krisis minyak goreng di Indonesia tecermin dalam tiga fenomena yaitu penimbunan stok minyak goreng, pengalihan barang dari pasar modern ke pasar tradisional, dan munculnya panic buying di tengah masyarakat.
Sejumlah upaya memang telah dilakukan pemerintah. Mulai dari subsidi harga minyak goreng, hingga ke pembatasan keran ekspor melalui Domestic Market Obligation (DMO) dan penerapan Domestic Price Obligation (DPO).
Namun, kebijakan ini justru kian membuat stok minyak goreng di pasaran semakin terbatas, bahkan langka.
"Kebijakan subsidi harga yang diterapkan pada kenyataannya gagal karena tak tepat sasaran. Konsumsi minyak goreng rumah tangga 61% nya adalah minyak curah, tapi kebijakan yg dilakukan justru subsidi pada minyak kemasan. Artinya kebijakan yang diambil tak nyambung," ungkapnya.
Kondisi tersebut, menandakan kebijakan hulu dan hilir yang diterapkan pemerintah tak efektif mengatasi problem kelangkaan minyak goreng.
Ada dua catatan serius dari kegagalan intervensi yg dilakukan pemerintah dalam penanganan krisis minyak goreng. Pertama, penanganan yang dilakukan pemerintah berangkat dari diagnosa permasalahan yg keliru.
Melalui kebijakan DMO, misalnya, pemerintah sedang menekan volume ekspor CPO. Harapannya, pasokan CPO domestic meningkat.
Namun, yang terjadi adalah alokasinya tidak terserap optimal untuk produksi minyak goreng, tetapi justru untuk bahan baku biodiesel yang harga jualnya mendapat subsidi sebesar US$85/ton dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
"Sementara untuk bahan baku minyak goreng, produsen CPO harus menjualnya dengan harga domestik, karena tak adanya subsidi dari BPDPKS. Di sinilah persoalannya," tandasnya.
Meskipun ketersediaan stok CPO domestik meningkat, namun regulasi domestiknya tidak bersahabat bagi CPO yang diperutukkan sebagai bahan baku minyak goreng. Akibatnya minyak goreng tetap langka di pasaran.
Padahal, dilihat dari sisi ekspor pun sebenarnya tidak ada lonjakan volume. Meskipun harga CPO di pasar internasional sedang tinggi, tetapi peningkatan ekspor 2020-2021 ternyata tak signifikan, hanya sebesar 0,2 juta ton.
"Sehingga, kita sebenarnya perlu waspada dengan kebijakan DPO ini. Penerapan kebijakan DPO yg tak terkendali dan tanpa diiringi pengawasan di tata kelola domestik, dapat menjadi backfire bagi petani kelapa sawit," jelasnya.
Sebab dengan kebijakan ini pabrik kelapa sawit akan menekan harga pembelian tandan buah segar (TBS) ke petani. Ketika harga CPO melambung saja petani sawit tak dapat ikut merasakan kenaikan keuntungan, apalagi ketika harganya dibatasi. Petani sawit sudah pasti semakin tertekan.