Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengeluhkan masih minimnya perusahaan tambang nikel yang mendapatkan persetujuan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) 2022 dari pemerintah.
Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan bahwa persetujuan RKAB sangat mempengaruhi peningkatan produksi nikel ore pada tahun ini.
“Dari pihak kami [perusahaan tambang] tetap melaksanakan kegiatan produksi, karena kasihan smelter kalau RKAB enggak ada, mereka nggak ada input ore,” katanya kepada Bisnis, Rabu (9/2/2022).
Hingga kini, dari catatan APNI baru sekitar 20 izin usaha pertambangan (IUP) yang telah mendapatkan persetujuan RKAB.
Dengan asumsi sekitar 150 perusahaan yang mengajukan RKAB, artinya hanya sekitar 20 persen yang telah mendapatkan persetujuan rencana kerja.
Meski begitu, APNI mencatat total 332 perusahaan nikel pemegang IUP. Dari jumlah tersebut, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara masing-masing ada 123 dan 133 IUP.
Di samping itu, permintaan nikel ore dalam negeri diperkirakan melonjak tajam sekitar 30 persen menjadi 100 juta ton pada 2022. Peningkatan tersebut terjadi seiring dengan beroperasinya sejumlah smelter pengolahan nikel pada tahun ini.
Meidy mengatakan bahwa proyeksi tersebut setidaknya ditopang oleh potensi permintaan pada tahun ini. Terlebih, tahun ini diperkirakan empat perusahaan smelter nikel akan beroperasi.
Pabrik pertama adalah milik PT Gunbuster Nickel Industri (GNI) di Konawe, Sulawesi Tenggara. Perusahaan itu bahkan telah melakukan ekspor perdana tahun ini. Kemudian akan ada pabrik smelter lainnya, termasuk di Morowali.
“APNI melihat kebutuhan input nikel ore 2022 mencapai 100 juta ton, ada kenaikan 20–30 persen dibandingkan dengan 2021,” terangnya.
Peningkatan permintaan juga ditopang oleh adanya pabrik precursor katoda. Sejalan dengan itu, Presiden Jokowi juga sempat meresmikan pabrik baterai untuk kendaraan listrik di Jawa Barat pada September 2021. Keberadaan industri hilir tersebut diyakini memberikan angin segar bagi permintaan nikel ore.