Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku usaha industri sawit menyatakan dukungan atas kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) yang diberlakukan pemerintah mulai hari ini. Kebijakan tersebut diharapkan bisa menjaga stabilitas harga minyak goreng yang stabil tinggi dalam 6 bulan terakhir.
"Dunia usaha mendukung kebijakan pemerintah untuk mencapai stabilitas harga minyak goreng. Mengenai DMO, kami harap bisa menjadi solusi dari upaya stabilisasi harga minyak goreng dan tidak berdampak ke kinerja industri sawit," kata Ketua Bidang Komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Tofan Mahdi, Kamis (27/1/2022).
Tofan mengatakan pelaku usaha masih melihat lebih jauh dampak dari kebijakan ini, baik terhadap harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani, maupun harga CPO di pasar internasional. Kewajiban pelaku usaha memasok produk CPO ke pasar dalam negeri dia sebut bisa memberi sinyal ke pasar internasional bahwa pasokan dari Indonesia berkurang.
"Kami akan ukur dampaknya ke CPO internasional karena pelaku pasar akan melihat [potensi] penurunan pasokan dari Indonesia. Bisa jadi harga CPO ini akan naik," katanya.
Namun Tofan belum bisa memperinci lebih jauh potensi penurunan tersebut karena pelaku usaha masih menantikan mekanisme teknis dari DMO ini. Data asosiasi memperlihatkan bahwa serapan produksi CPO nasional mayoritas dikirim untuk memenuhi pasar ekspor, sementara kebutuhan domestik berkisar 35 persen dari produksi.
Terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan kebijakan DMO dan DPO berisiko menekan harga TBS petani.
"Industri bisa menekan harga ke produsen kelapa sawit yang masih didominasi petani," kata Tauhid.
Melalui kebijakan DPO, Kemendag telah menetapkan harga CPO sebesar Rp9.300 per kilogram (kg) dan olein Rp10.300 per liter atau setara US$655 per ton CPO. Harga rata-rata CPO internasional terpantau masih di atas US$1.300 per ton.
Tauhid tidak memungkiri jika pergerakan harga TBS sejauh ini mengikuti CPO di tingkat internasional. Namun dengan biaya produksi yang makin tinggi akibat kenaikan harga pupuk, dia mengatakan tak menutup kemungkinan penerimaan riil petani akan turun.
"Harga TBS yang tertekan dan memicu penerimaan yang berkurang bisa berdampak lebih jauh ke produktivitas karena harga pupuk belum turun," katanya.
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto justru mengatakan bahwa kebijakan DMO dan DPO tidak akan banyak berpengaruh ke harga TBS. Selama ini, kebanyakan petani menjual TBS dengan mengacu pada harga CPO internasional tanpa mengetahui apakah TBS dipakai untuk pangan atau justru biodiesel.
"Mayoritas produksi kita juga memang sudah diekspor, jadi kondisi domestik belum tentu menentukan harga," katanya.
Dia berpendapat kebijakan DMO dan DPO lebih tepat dijalankan dalam rangka mencapai stabilitas harga minyak goreng, alih-alih melalui alokasi anggaran yang bersumber dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk subdisi. Menurutnya, kebijakan penyaluran subsidi cenderung terkonsentrasi pada segelintir pelaku usaha yang menguasai produksi minyak goreng.