Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah sektor industri Tanah Air berisiko menghadapi dampak negatif dari kebijakan moneter Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed).
Potensi penguatan dolar AS yang terjadi seiring dengan berakhirnya quantitative easing bisa menekan aktivitas industri pada masa pemulihan.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan industri dengan ketergantungan yang cukup besar pada barang impor dan dengan pasar domestik sebagai pasar utama akan menjadi yang paling terimbas. Rupiah yang melemah bakal memicu peningkatan biaya produksi.
"Sementara itu pendapatan mereka dalam bentuk rupiah, sehingga terjadi mismatch yang dapat menggerus margin keuntungan mereka," kata Josua, Rabu (27/1/2022).
Berdasarkan data yang dihimpun, Josua mengatakan industri yang memiliki karakteristik tersebut mencakup sektor pengolahan gandum dan tepung terigu, kedelai olahan, farmasi, tekstil, permesinan, dan elektronik.
"Aktivitas produksi berpotensi terganggu dalam jangka panjang jika para produsen tersebut tidak dapat melakukan pass-through kenaikan harga ke konsumen atau perputaran barang menjadi melambat karena adanya kenaikan harga tersebut," jelasnya.
Sebaliknya, Josua juga mengatakan industri yang ditopang dengan bahan baku domestik dan yang berorientasi ekspor cenderung diuntungkan dari adanya penguatan dolar AS.
Beberapa contoh industri yang memiliki karakteristik ini adalah pertambangan bijih mineral dan batu bara, karet, produk olahan minyak sawit, dan industri pengolahan logam dasar seperti produk penghiliran nikel.
Sebagai informasi, notulensi rapat terakhir The Fed yang terbit pekan lalu menyebut kemungkinan kenaikan suku bunga lebih dari tiga kali. Analis Goldman Sachs sebagaimana diwartakan Bloomberg meyakini kenaikan suku bunga akan ditempuh minimal empat kali tahun ini, seiring dengan perkembangan terbaru inflasi di AS.
Kenaikan suku bunga The Fed bakal berimplikasi pada pelemahan kurs terhadap dolar AS. Hal ini akan turut dirasakan pelaku ekspor dan impor yang mayoritas transaksinya menggunakan dolar.