Industri energi surya di Indonesia sebetulnya relatif masih baru. Jumlah kapasitasnya dalam bauran energi nasional relatif masih rendah.
Dengan semakin akutnya pemanasan global, seharusnya industri energi baru dan terbarukan (EBT) dikembangkan secara cepat di Indonesia, sehingga memungkinkan dicapainya target-target bauran energi demi mengurangi emisi gas rumah kaca melalui pengembangan renewable energy.
Oleh karena itu, berita tentang pengembangan energi surya untuk diekspor ke negara tetangga merupakan kabar yang mengejutkan sekaligus menar ik.
Berita tersebut muncul pada akhir 2021 saat tercapainya kesepakatan beberapa pihak untuk melakukan pengembangan energi baru dan terbarukan di Indonesia tetapi akan dimanfaatkan oleh negara tetangga.
Mengapa Singapura begitu antusias dalam pengembangan tenaga matahari bagi pengembangan listriknya? Selain mereka secara bertahap akan beralih ke energi hijau, langkah tersebut diambil untuk mengantisipasi jika kontrak suplai gas ke negara tersebut tidak diperpanjang oleh Pemerintah Indonesia.
Energi listrik di Singapura memang memiliki ketergantungan yang besar pada penggunaan gas yang disuplai dari Indonesia. Dalam hal ini terdapat beberapa kontrak suplai gas dari ladang di Indonesia ke negara tersebut. Kontrak yang terbesar adalah antara Conoco Phillips, yang berasal dari Blok Corridor di Grissik, Sumatera, dan Singapura yang akan berakhir pada 2023.
Diperkirakan Singapura akan mengajukan perpanjangan kontrak tersebut. Namun tetap ada ketidakpastian yang besar terhadap nasib perpanjangan kontrak tersebut, karena banyak dipengaruhi oleh situasi politik antar ke dua negara.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif di depan Rapat Kerja Komisi VII DPR pada 27 November 2021 mengatakan bahwa setelah kontrak suplai gas dengan Singapura berakhir akan dialihkan ke dalam negeri.
Untuk itu jaringan pipa gas baru juga sudah dibangun dari Dumai ke Sei Mangke. Demikian juga suplai ke Pulau Jawa dengan menggunakan jaringan pipa yang ada saat ini. Melihat perkembangan tersebut, Singapura segera mengantisipasinya dengan menyiapkan suplai listrik yang berasal dari EBT.
Awalnya, pasokan listrik akan disalurkan dari Australia melalui jalur kabel laut dengan menggunakan high voltage direct current (HVDC) dari Darwin ke Singapura melalui Laut Timor dan Indonesia.
Pengiriman listrik dengan menggunakan kabel laut yang jaraknya sangat jauh tersebut berisiko sangat besar, seperti misalnya kena jangkar kapal atau juga oleh ulah sabotase.
Namun, pada tahun lalu terdapat perkembangan menarik. Sunseap, perusahaan EBT terbesar di Singapura, berencana mengembangkan solar farms terapung di Danau Duriangkang, Batam. Listrik yang akan dihasilkan sebesar 2.200 MWp dan dikembangkan bersama Agung Sedayu.
Pasokan listrik akan disalurkan melalui kabel laut, karena jarak antara Batam dan Singapura sangat dekat, sehingga sangat memungkinkan. Proyek tersebut harus dilengkapi dengan battery energy storage system (BESS) agar aliran listrik ke Singapura dapat terus berjalan.
Untuk pengembangan proyek ini sudah dibuat memorandum of understanding (MoU) dengan Badan Otorita Batam. Di sisi lain, pada 25 Oktober 2021, minimal terdapat dua proyek besar yang sudah disepakati beberapa pihak. Pertama, pengembangan sumber listrik tenaga matahari di Pulau Bulan.
Proyek ini melibatkan Pacific Light Power Company dari Singapura Power sebagai pengguna, Medco Power, dan Gallant Venture dari Salim Group. Pengembangan solar farm dengan kapasitas 670 MWp itu disalurkan ke Singapura dalam bentuk listrik tidak terputus-putus (non-intermitten) sebesar 100 MW. Jadi, dibutuhkan sistem penyimpanan energi yang besar, yaitu lebih dari 1 GW.
Kedua, pengembangan solar farm yang besarnya 550 MW di Pulau Lumban Besar, Kepulauan Riau. Pembangkit energi ini juga akan menyalurkan listrik secara tidak terputus sebesar 100 MW ke negara pulau tersebut.
Kerja sama digarap oleh Tuas Power sebagai pengguna di Singapura, PT Indonesia Power, dan EDF Renewables, anak perusahaan listrik negara dari Prancis. Proyek tersebut juga membutuhkan suatu sistem penyimpanan energi yang besar, yaitu lebih dari 1 GWh.
Ada pula pengembangan solar farm di Kepulauan Riau yang melibatkan SembCorp, PT Trimitra Surya Bersama, dan PLN Batam. Menurut Trimitra, kesepakatan tersebut juga untuk pengembangan energi surya di Nusa Tenggara Timur.
Dengan demikian, prospek pengembangan industri pembuatan photovoltaic yang akan menghasilkan solar panel sangat cerah. Pada tahap awal proyek di sekitar Kepulauan Riau itu saja membutuhkan solar panel berkapasitas lebih dari 6 GW. Alhasil, menjadi sangat feasible bagi pengembangan industri solar panel di Indonesia.
Bahkan prospek pengembangan PLTS di atap rumah maupun di atap gedung komersial dalam beberapa tahun mendatang diperkirakan juga bakal marak. Pihak swasta dapat terjun untuk menggarap potensi bisnis ini.
Kebutuhan terhadap BESS juga menarik perhatian. Sistem ini sebetulnya menggunakan battery cell yang sama dengan baterai untuk mobil listrik. Di Indonesia sedang dibangun pabrik baterai untuk mobil listrik oleh konsorsium LG Chem, Hyundai, dan Kia Motor. Oleh karena itu, sudah saatnya pula dikembangkan pabrik baterai untuk energy storage system.
Karena kebutuhannya bakal sangat tinggi maka perlu penyiapan industri semacam ini dalam skala besar sebagaimana yang sudah dikembangkan oleh Tesla.