Bisnis.com, JAKARTA – Resistensi pelaku usaha terhadap kebijakan cukai plastik dan minuman berpemanis tidak surut meski pemerintah tengah mempertimbangkan penundaan penerapannya hingga 2023.
Sekjen Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiyono mengatakan yang menjadi persoalan utama dalam konsumsi plastik adalah manajemen pengelolaan sampah.
Menurutnya, tidak cukup menggunakan perangkat cukai untuk mengatasi masalah persampahan tanpa diikuti perbaikan pengelolaan yang berdasar pada ekonomi sirkular.
"Kami akan tetap againt bahwa itu bukanlah cara yang tepat. Paralel kami tetap perbaiki manajemen pengelolaan sampahnya," kata Fajar kepada Bisnis, Selasa (25/1/2022).
Bagi industri, jika kebijakan ini diterapkan, akan ada penyesuaian besar-besaran terutama dalam pengadaan mesin. Pelaku harus melakukan pengadaan mesin-mesin untuk menghasilkan produk plastik yang sesuai dengan spesifikasi barang kena cukai.
Sementara investasi mengalir, kapasitas produksi tidak bertambah, sehingga tidak mendatangkan pertumbuhan bagi industriawan.
Di sisi lain sebenarnya industri yang dinaungi Inaplas telah megantisipasi persoalan sampah dengan pengembangan pusat pengelolaan sampah. Di Bali contohnya, pada November tahun ini ditargetkan ada tiga pusat pengelolaan sampah dengan total kapasitas 1.500 ton per hari.
"Jadi wacana cukai plastik itu kalau arahnya ke perbaikan lingkungan, ini yang benar. Akan tetapi kalau arahnya ke penerimaan negara, siap-siap saja, nanti paling-paling negara hanya terima maksimum Rp1-1,5 triliun, tapi ruginya banyak," jelas Fajar.
Setali tiga uang, Direktur Eksekutif Federasi Kemasan Indonesia Henky Wibawa menambahkan tujuan mengurangi penggunaan plastik dengan cukai tidak diiringi dengan solusi bagi industri, mengingat kebutuhan kemasan terus bertumbuh.
Selain itu, Henky juga menilai pemerintah belum memiliki cetak biru pemanfaatan cukai plastik untuk tujuan pengelolaan sampah. Jika diterapkan dengan benar, cukai plastik harus dikembalikan untuk tujuan sirkular ekonomi.
"Jadi biaya untuk membangun infrastruktur, ekosistem. [Hasil cukai] Itu dipakai lagi untuk menyubsidi pengumpulan limbah dan sebagainya," ujar Henky.
Senada dengan Fajar, Henky menyatakan akan tetap menolak meski penerapannya ditunda sampai 2023. "Kalau hanya membebani konsumen kan tidak masuk akal," jelasnya.