Bisnis.com, BEKASI — Wacana pemberlakuan cukai plastik dan minuman berpemanis kembali bergulir setelah lebih dari dua tahun tanpa kejelasan. Adanya pandemi Covid-19 yang berdampak terhadap perekonomian dinilai menjadi salah satu faktor lambatnya penerapan itu.
Isu penerapan cukai bagi plastik dan minuman berpemanis telah bergulir cukup lama, setidaknya sejak 2019. Kala itu, Kementerian Keuangan menilai bahwa sampah plastik menjadi masalah besar karena mencemari laut, sedangkan minuman berpemanis meningkatkan risiko kesehatan.
Dua tahun berlalu, belum terdapat kejelasan dari rencana penerapan cukai itu. Kemudian, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 104/2021 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2022.
Dalam aturan itu, tercantum rencana penerimaan cukai senilai Rp203,9 triliun, naik sekitar 13,2 persen dari tahun ini senilai Rp180 triliun. Target penerimaan cukai tahun depan itu di antaranya berasal dari cukai plastik senilai Rp1,9 triliun dan minuman berpemanis Rp1,5 triliun.
Ketika dimintai penjelasan terkait penerapan cukai plastik dan minuman berpemanis, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani tak berkomentar banyak. Menurutnya, pembahasan penerapan cukai itu masih berjalan dan belum terdapat keputusan.
Meskipun begitu, Askolani menyatakan bahwa pandemi Covid-19 turut menjadi pertimbangan pemerintah sebelum menerapkan cukai plastik dan minuman. Menurutnya, pemerintah mempertimbangkan kondisi ekonomi secara keseluruhan sebelum menerapkan kebijakan terkait.
Baca Juga
"Iya, melihat kondisi ekonomi saat ini juga masih [terdampak] pandemi Covid-19. Jadi pertimbangan [sebelum menetapkan kebijakan cukai plastik dan minuman berpemanis]," ujar Askolani saat berbincang dengan Bisnis, usai pemusnahan barang-barang ilegal di Tempat Penimbunan Pabean Cikarang, Bekasi, Jawa Barat pada Rabu (22/12/2021).
Sebelumnya, dalam konferensi pers APBN KiTa, Askolani membenarkan bahwa pemerintah merencakan penerimaan cukai 2022 berbasis plastik dan minuman berpemanis. Namun, pemerintah masih membuka ruang penyesuaian atas kondisi terkini, khususnya jika dampak Covid-19 masih terasa.
"Akan disesuaikan apakah kebijakan itu bisa dilaksanakan atau dilakukan penyesuaian, dan tentunya pemerintah akan sangat mempertimbangkan dengan kondisi ekonomi, dunia usaha yang akan disikapi dengan seimbang," ujarnya.