Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Perdagangan sejauh ini belum menemukan adanya indikasi praktik kartel yang memicu harga tinggi minyak goreng. Kondisi harga komoditas tersebut disebut lebih banyak dipengaruhi harga minyak sawit mentah atau CPO di pasar global.
"Kami masih belum melihat sejauh itu [ke praktik kartel]. Dari pengamatan kami, kenaikan harga minyak goreng yang tinggi beberapa waktu belakangan ini lebih diakibatkan adanya kenaikan harga CPO sebagai bahan baku utama di pasar internasional," kata Direktur Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting Kemendag Isy Karim melalui pesan WhatsApp, Minggu (16/1/2022).
Isy menjelaskan hanya sebagian kecil produsen minyak goreng yang menerima pasokan CPO dari kebun sawit kelolaan sendiri. Hal ini menyebabkan harga produk minyak goreng yang dihasilkan akan sangat tergantung dari harga pembelian CPO. Adapun referensi harga CPO mengacu pada harga lelang pada KPB Dumai.
Isy memberi gambaran bahwa harga acuan yang ditetapkan sebesar Rp11.000 per liter dengan perhitungan harga CPO sebesar US$680 per ton.
"Sedangkan saat ini dengan harga minyak goreng di kemasan sederhana di kisaran Rp18.700 per liter, harga CPO telah mencapai kisaran US$1.380 per ton," katanya.
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan dugaan praktik kartel muncul karena harga minyak goreng stabil tinggi di atas kewajaran, meskipun momen Natal dan Tahun Baru telah berakhir .
"YLKI menduga dengan kuat ada pihak-pihak tertentu yang mendistorsi pasar minyak goreng, khususnya yang berdimensi persaingan usaha tidak sehat, misalnya praktik kartel," katanya.
Dia berpandangan kenaikan harga tidak wajar sekalipun harga CPO dunia melambung. Harga minyak goreng seharusnya bisa terkendali karena Indonesia merupakan produsen CPO terbesar.