Bisnis.com, JAKARTA - Tentara peretas Korea Utara meluncurkan setidaknya tujuh serangan pada platform cryptocurrency sepanjang tahun 2021 yang mengancam pemain global dan menjaring aset digital senilai hampir US$400 juta atau Rp5.760 triliun.
Dikutip dari Bloomberg, laporan dari perusahaan riset blockchain Chainalysis yang dirilis Kamis (13/1/2022), mengungkapkan bahwa terjadi peningkatan sebesar 40 persen dari tahun sebelumnya.
“Perilaku ini, disatukan, melukiskan potret sebuah negara yang mendukung kejahatan berbasis cryptocurrency dalam skala besar,” ungkap laporan tersebut.
Kesimpulan Chainalysis menggarisbawahi ketergantungan pemimpin Kim Jong Un pada peretas yang didukung negara tersebut. AS dan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan kejahatan dunia maya negara itu membantu membiayai program senjata nuklir Korea Utara dan menopang ekonomi yang tertatih-tatih oleh sanksi global atas bom atom dan uji coba rudal jarak jauh.
Jumlah yang dilaporkan oleh kelompok riset tersebut setara dengan sekitar 1,5 persen dari ekonomi Korea Utara pada tahun 2020 dan kemungkinan akan mencapai lebih dari 10 persen dari anggaran militer tahunannya.
"Uang yang diperoleh Korea Utara dari kejahatan dunia maya membantunya mendanai prioritas pemerintah, seperti program nuklir dan misilnya,” kata Kantor Direktur Intelijen Nasional AS dalam laporan yang tidak dirahasiakan pada tahun 2021.
Baca Juga
Chainalysis mengatakan Korea Utara memanfaatkan umpan phishing, eksploitasi kode, malware, dan rekayasa sosial tingkat lanjut untuk menyedot dana. “Begitu Korea Utara mendapatkan hak atas dana tersebut, mereka memulai proses pencucian yang hati-hati untuk menutupi dan menguangkannya.”
Korea Utara mencuri beragam cryptocurrency, menurut laporan tersebut. Kenyataan ini memperkuat bahwa kompleksitas operasi pencucian uang Korea Utara semakin meningkat dan mereka semakin berhati-hati setiap tahun.
Laporan itu muncul ketika Korea Utara meningkatkan tekanan atas sanksi AS. Korea Utara mengatakan akan melepaskan reaksi yang lebih kuat dan pasti, jika AS mencoba memaksakan lebih banyak tekanan ekonomi.