Bisnis.com, JAKARTA — Institute For Development of Economics and Finance (Indef) menilai wacana kenaikan harga energi bersifat kontraproduktif dengan arah pemulihan industri saat ini. Bahkan hal itu berpeluang mempengaruhi ketercapaian target pertumbuhan industri pada 2022 sebesar 4,5 persen sampai 5 persen.
Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef, Andry Satrio Nugroho, mengatakan kenaikan harga energi merupakan satu dari tiga faktor yang membebani pertumbuhan industri pada tahun ini. Dengan adanya tekanan harga energi, industri masih memerlukan insentif, meskipun pemerintah perlu selektif dalam penyelenggaraannya.
"Harus lebih selektif untuk memebrikan insentif, karena saat ini bukan lagi kepada pemberian insentif arah pemulihannya. Kita berharap adanya turning point, industri memberikan penerimaan bagi begara," kata Andry kepada Bisnis, Senin (10/1/2021).
Menurutnya, selama dua tahun ini kas negara sudah cukup terkuras untuk memberikan insentif bagi industri, sehingga upaya dukungan selanjutnya perlu ditimbang dengan matang.
Selain harga energi, lanjut Andry, pertumbuhan industri juga terbebani ketidakpastian pandemi. Vaksin booster yang saat ini tengah digodok pengadaannya diharapkan dapat dengan cepat terdistribusi sehingga memperkecil risiko gangguan pandemi pada aktivitas industri.
Hal lain yang juga berisiko menahan pertumbuhan manufaktur yakni penurunan daya saing karena akumulasi kenaikan biaya produksi yang indikasinya sudah terlihat sepanjang tahun lalu.
"Tentu kalau industri berorientasi ekspor, juga jadi salah satu problem, karena tidak kompetitif, bahwa harga yang dihasilkan oleh industri akan meningkat. Ini perlu diantisipasi oleh pemerintah," katanya.
Sebelumnya, pemerintah berencana menaikkan tarif dasar listrik (TDL) pada 13 golongan pengguna. Berdasarkan rencana penyesuaian TDL oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, kenaikan pada golongan I-3 atau penggunaan listrik di atas 200 kVS dan I-4 dengan penggunaan daya di atas 30.000 kVA diproyeksikan masing-masing 15,97 persen dan 20,78 persen.
Selain itu, ada pula wacana penghapusan bahan bakar minyak (BBM) premium dan pertalite dan peningkatan harga liquified petroleum gas (LPG) nonsubsidi sebesar Rp1.600 hingga Rp2.600 per kilogram.