Bisnis.com, JAKARTA - Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) menilai kebijakan Presiden Joko Widodo mencabut 2.078 izin usaha pertambangan sebagai langkah tepat.
Peneliti Pushep Akmaluddin Rachim mengatakan bahwa kebijakan ini tepat dilakukan untuk mengevaluasi tata kelola pertambangan.
"Kami mengapresiasi langkah yang diambil oleh Presiden Jokowi. Ini kebijakan yang tepat untuk mengevaluasi kembali tata kelola pertambangan. Khususnya terkait dengan sektor perizinan pertambangan," katanya dalam keterangan resmi, Jumat (7/1/2022).
Menurut dia, sepanjang kebijakan ini dimaksudkan untuk memperbaiki tata pengusahaan pertambangan dan bagian dari upaya menguatkan kembali sistem perizinan pertambangan, maka kebijakan tersebut harus didukung.
"Pemerintah dalam melakukan pencabutan izin tersebut harus atas dasar evalusi, berdasarkan fakta dan data. Karena jika tidak, maka berpotensi terjadi resiko hukum," ujarnya.
Selain itu, alasan pencabutan izin usaha pertambangan, kata dia, harus dimaknai sebagai tindakan tegas Jokowi untuk mengatur ulang kembali tata kelola pertambangan negeri ini agar terjadi keseimbangan.
Baca Juga
Kata dia, pencabutan izin pertambangan tentu berdampak pada kegiatan pengusahaan pertambangan. IUP yang dicabut ini merupakan IUP yang tidak aktif beroperasi.
Adapun IUP yang aktif beroperasi dan telah sesuai dengan ketentuan, maka tidak perlu diganggu. Ke depan, IUP yang dicabut ini dinilai perlu diberikan kesempatan yang sama dengan IUP yang telah ada.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin menegaskan pemerintah mencabut izin usaha yang tidak dijalankan, tidak produktif, dialihkan ke pihak lain serta tidak sesuai peruntukan.
"Sebanyak 1.776 perusahaan pertambangan mineral, termasuk mineral logam, mineral bukan logam, dan batuan dengan luas wilayah 2.236.259 Hektar kita cabut," katanya dalam keterangan resmi dikutip Jumat (7/1/2022).
Adapun wilayah izin usaha pertambangan tersebut tersebar di sejumlah provinsi. Di antaranya Provinsi Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan D.I. Yogyakarta.
Kemudian, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kep. Bangka Belitung, Kep. Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Gorontalo, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.
"Sementara itu, sebanyak 302 perusahaan pertambangan batubara, dengan luas wilayah 964.787 Hektar juga dicabut,” terangnya.
Ratusan tambang batu bara tersebut tersebar di Provinsi Bengkulu, Jambi, Riau Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara.