Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sri Mulyani: No Pain, No Gain. Pemerintah Berutang untuk Jalankan Negara!

Hal tersebut diungkapkan oleh Sri Mulyani dalam siniar (podcast) Deddy Corbuzier bernama Close The Door yang diunggah pada Kamis (6/1/2022). Dalam siniar itu, Sri Mulyani membahas berbagai macam topik, khususnya terkait perannya sebagai bendahara negara.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat tiba di depan Ruang Rapat Paripurna I untuk menghadiri Pembukaan Masa Persidangan I Tahun Sidang 2020-2021 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (14/8/2020). Bisnis/Arief Hermawan P
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat tiba di depan Ruang Rapat Paripurna I untuk menghadiri Pembukaan Masa Persidangan I Tahun Sidang 2020-2021 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (14/8/2020). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa pengelolaan keuangan negara berjalan dengan cara-cara instan dan sederhana sehingga memerlukan berbagai dorongan, seperti melalui utang. Pemanfaatan utang memang memberikan beban tetapi dapat terbayar melalui peningkatan pendapatan negara.

Hal tersebut diungkapkan oleh Sri Mulyani dalam siniar (podcast) Deddy Corbuzier bernama Close The Door yang diunggah pada Kamis (6/1/2022). Dalam siniar itu, Sri Mulyani membahas berbagai macam topik, khususnya terkait perannya sebagai bendahara negara.

Sri Mulyani bercerita bahwa pembahasan mengenai ekonomi atau keuangan negara seringkali cukup sulit karena banyak pihak yang menginginkan solusi gampang dan instan atas sebuah masalah. Misalnya terkait kebutuhan dana untuk pembangunan dan berbagai program pemerintah.

Cara pandang itu kemudian, menurutnya, membuat masyarakat kerap alergi terhadap penggunaan utang oleh negara. Padahal penggunaan utang bukan sekadar perkara siap atau tidaknya sebuah negara dalam menanggung utang tersebut, tetapi merupakan sumber pendanaan untuk berbagai tujuan bernegara.

"Negara paling kaya saja berutang. It has nothing to do with siap enggak siap. Amerika Serikat, ekonomi terbesar di dunia, utangnya 100 persen dari PDB, it's quite scary. Jepang, 200 persen dari PDB. Kesulitan kita kalau ngomongin ekonomi kan kadang orang ingin punya solusi yang gampang, instan, dan lebih bahaya lagi yang no pain [tanpa tekanan atau risiko]," ujar Sri Mulyani dalam siniar itu, dikutip pada Kamis (6/1/2022).

Dia menjelaskan bahwa dalam mengelola negara, pemerintah harus menentukan kebijakan berorientasi jangka panjang. Dengan keterbatasan sumber dana milik negara, utang dapat menjadi modal untuk melaksanakan pembangunan yang nantinya akan mendukung roda perekonomian.

Sri Mulyani pun bercerita bahwa tuntutan atas solusi-solusi instan kerap terlihat dalam praktik demokrasi, yakni saat pemilihan umum (pemilu). Masyarakat kerap mencari sosok orang yang dapat menyelesaikan berbagai masalah dalam sekejap, bukan menuntut program yang membawa perbaikan secara bertahap dan pasti.

"Makanya di Indonesia kalau pemilu ada istilah ini Satria Piningit, ini Ratu Adil. Seperti gagasan pimpinan yang datang dari entah surga, di-drop, dia akan bawa segala macam [solusi atas permasalahan]. Itu merupakan sesuatu harapan masyarakat," ujarnya.

Dia pun berharap masyarakat dapat lebih memahami utang sebagai bagian dari sumber pembiayaan dalam keuangan negara. Persoalan utang pun terus menjadi perhatian Sri Mulyani, terlebih saat beberapa lalu utang pemerintah mendapatkan sorotan.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I/2021 bahwa terdapat tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga yang melebihi PDB serta penerimaan negara.

"Hasil review menunjukkan bahwa pandemi Covid-19 telah meningkatkan Defisit, Utang, dan SiLPA yang berdampak pada peningkatan risiko pengelolaan fiskal," tertulis dalam IHPS I/2021.

BPK menegaskan indikator kerentanan utang 2020 telah melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan/atau International Debt Relief (IDR) serta indikator kesinambungan fiskal (IKF) 2020 sebesar 4,27 persen. Kondisi utang pun telah melampaui batas yang rekomendasi The International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411–Debt Indicators, yaitu di bawah 0 persen.

Seperti diketahui, pada 2020 rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen melampaui rekomendasi IMF sebesar 25 persen–35 persen.Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6 persen–6,8 persendan rekomendasi IMF sebesar 7 persen–10 persen.

Kemudian rasio utang terhadap penerimaan tercatat sebesar 369 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 92 persen–167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90 persen–150 persen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper