Bisnis.com, JAKARTA - Akhir 2021 merupakan akhir dari tahun kedua pandemi Covid-19 melanda dunia termasuk Indonesia. Sejalan dengan hal tersebut, pemanfaatan teknologi digital atau digitalisasi ekonomi justru mengalami percepatan.
Kendati demikian, dampak percepatan digitalisasi terhadap ekonomi berbeda-beda pada bagi suatu negara. Beberapa negara mendapatkan capaian ekonomi yang cukup berkat ekonomi digital, dalam bentuk peningkatan PDB per kapita. Hal ini sejalan dengan penterasi internet yang tinggi.
Di sisi lain, beberapa negara lainnya yang mengalami percepatan penetrasi internet tidak berpengaruh terhadap signifikan terhadap peningkatan PDB per kapita. Founder dan Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Hendri Saparini menyebut Indonesia menjadi salah satu negara yang menjadi contoh.
"Misalnya di Indonesia, justru kita turun [PDB per kapita]. Tadinya sudah masuk upper middle income sekarang jadi turun ke lower middle income country. Artinya apa? Banyak faktor lain yang harus jadi catatan kita agar digitalisasi yang semakin cepat ini bisa memberikan dampak yang signifikan," jelas Hendri pada CORE Media Discussion di Jakarta, Rabu (29/12/2021).
Seperti yang diketahui, Bank Dunia (World Bank) menurunkan status upper-middle income ke lower-middle income pada 1 Juli 2021, dengan PDB per kapita US$3.870. Sebelumnya, Indonesia sempat meraih status negara berpendapatan menengah ke atas (tinggi) pada 2020.
Hendri menyebut digitalisasi ekonomi di Indonesia terlihat dari tingginya e-commerce. Namun, peningkatan yang tinggi ini hanya terjadi pada sisi jasa. Menurutnya, Indonesia perlu lebih mendorong sisi produksi pada e-commerce.
Baca Juga
Dalam artian, kendati e-commerce tumbuh tinggi, Indonesia masih belum siap untuk mendorong sisi suplai atau produksi. "Di dalam e-commerce sebagian besar itu produk impor. Karena kita tidak siap di sisi suplainya. Kita perlu strategi lebih komprehensif. Kalau e-commerce meningkat, maka juga akan mendorong peningkatan permintaan tidak hanya konsumsi, tapi juga bisa memperbaiki struktur ekonomi dan industri," tuturnya.
Di sisi digitalisasi layanan publik, Hendri menilai rencana untuk menerapkan digitalisasi bantuan sosial (bansos) untuk 2024 terlalu lambat. Dia menekankan perlu adanya percepatan pemanfaatan big data.
"Catatannya, gimana big data bisa diolah oleh satu lembaga, siapa yang akan olah data ini dan bisa di-share dan dimanfaatkan," katanya.
Pada akhirnya, Hendri menekankan agar digitalisasi tidak menghilangkan lapangan kerja atau usaha yang sudah ada. Misalnya, dia mengapresiasi kehadiran peer-to-peer lending (P2P) lending yang mendorong inklusi keuangan. Namun sejalan dengan hal tersebut, Lembaga Keuangan Mikro (LKM) tidak bisa berkompetisi denga P2P lending, padahal selama ini sudah tumbuh dan dikelola di tengah-tengah masyarakat.
"Mereka [LKM] tidak bisa kasih pelayanan yang sebanding dengan pemain-pemain baru. Jadi, yang harus dipersiapkan gimana kita siapkan agar hal positif dan digitalisasi bisa memberi manfaat," tambahnya.
Adapun, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mencatat pada November tahun ini bahwa nilai ekonomi digital Indonesia tercatat sebesar US$44 miliar. Nilai ini menjadi yang tertinggi di Asean, yang telah nilainya melampaui US$100 miliar dan meningkat tiga kali lipat di 2025.
Nilai ekonomi digital di Indonesia diperkirakan akan terus tumbuh hingga delapan kali lipat pada 2030. Kontribusi terbesar bagi ekonomi digital Indonesia berasal dari transaksi e-commerce. Pada tahun 2025, e-commerce diproyeksikan meningkat hingga US$32 miliar dengan tingkat pertumbuhan 54 persen.