Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah mendorong pemanfaatan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara dilakukan bersamaan dengan teknologi terbaru untuk menekan emisi karbon.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan bahwa pemerintah nantinya hanya akan memanfaatkan PLTU yang ada sampai kontrak habis.
Dia menyebut, tidak ada lagi PLTU yang akan dibangun, kecuali pembangkit yang telah melalui masa konstruksi atau sudah direncanakan sebelumnya.
“Kami lakukan percepatan pengembangan pembangkit listrik tenaga EBT. Kami mendorong pemanfaatan bahan bakar yang baru dicampur dengan bahan bakar fosil, baik yang kaitannya dengan biofuel maupun co-firing,” katanya saat Bisnis Indonesia Business Challenges, Kamis (16/12/2021).
Adapun, teknologi co-firing merupakan proses pencampuran biomassa dengan batu bara pada PLTU. Sementara itu, biofuel merupakan proses pencampuran bahan bakar nabati dengan minyak bumi.
Lebih lanjut, pemanfaatan berbasis non-listrik atau non-fuel terus dikejar. Misalnya, pemanfaatan langsung energi panas dari panas bumi. Saat ini pemanfaatan panas bumi lebih banyak digunakan sebagai potensi wisata.
Baca Juga
“Namun, begitu dalam temperatur tertentu bisa dimanfaatkan secara produktif untuk mendukung industri,” terangnya.
Sejatinya pemerintah telah memasang target pengembangan energi hijau dalam jangka pendek. Berdasarkan rencana umum energi nasional, setidaknya bauran energi bersih dapat mencapai 23 persen dari total energi nasional pada 2025.
Target itu, kata Dadan, harus dilakukan dengan percepatan pengembangan pembangkit listrik maupun non-listrik sesuai rencana. Misalnya, pada tahun ini ditargetkan pengembangan EBT mencapai 752 MW dan energi non-listrik, seperti biofuel dapat diproduksi hingga 9,2 juta kiloliter.
Berdasarkan rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PLN 2021–2030, tambahan pembangkit listrik akan didominasi oleh EBT sebesar 51,6 persen atau 20,9 GW, sedangkan energi fosil berkontribusi 48,4 persen atau 19,6 GW.
Dalam pengembangannya, PT PLN (Persero) direncanakan membangn 9,1 GW PLT EBT atau 43,7 persen dari total 20,9 GW. Sementara itu, pihak swasta direncanakan membangun pembangkit sebesar 11,9 GW, termasuk porsi untuk pengembangan PLTS sebesar 63,7 persen.
“Kami dari Kementerian bahwa yang menjadi RUPTL ini bisa terlaksana sesuai schedule, kapan COD-nya, kapan PPA. Jadi kami juga melakukan upaya di bottleneck,” ujarnya.
Sebelumnya, PT PLN (Persero) menargetkan 10–20 persen kebutuhan batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dapat diganti dengan biomassa, seiring dengan upaya meningkatkan bauran energi terbarukan.
Electricity System Planning Division PT PLN (Persero) Edwin Nugraha mengatakan bahwa usaha itu akan memberikan kontribusi peningkatan bauran energi baru terbarukan sebesar 3–6 persen.
“Itu salah satu usaha kami terkait batu bara di 5–10 tahun ke depan,” katanya saat webinar, Selasa (14/12/2021).
Dia menerangkan bahwa konsumsi batu bara untuk pembangkit listrik akan terus mengalami kenaikan dalam 9 tahun ke depan. PLN memproyeksikan kebutuhan komoditas emas hitam akan mencapai 153 juta ton pada 2030.
Peningkatan permintaan itu turut dikontribusikan dari pengembangan pembangkit listrik 35 GW dan fast track program (FTP) 2 sebesar 7 GW. Dalam RUPTL PLN 2021–2030, pengembangan PLTU akan berkontribusi 34 persen atau 13,8 GW dari total 40,9 GW pada 2030.
Kontribusi tersebut salah satunya dari program 35 GW yang masih berjalan. Kendati begitu, Edwin menegaskan bahwa tidak ada lagi penambahan pembangkit listrik tenaga uap, kecuali telah melakukan tahapan konstruksi dan mendapatkan izin.