Bisnis.com, JAKARTA - Pada 22 November 2021 Fitch Rating kembali menegaskan peringkat surat utang (sovereign rating) Indonesia di peringkat BBB (triple-B flat) dengan outlook stabil. Hal ini merupakan rating action kedua yang dilakukan Fitch kepada Indonesia tahun ini setelah sebelumnya pada 19 Maret 2021 juga menegaskan peringkat Indonesia di capaian yang sama.
Hal ini menggambarkan posisi Indonesia sebagai salah satu negara di kelompok negara-negara investment grade global. Jadi, secara keseluruhan sovereign rating Indonesia berada di peringkat Baa2 dengan outlook stabil oleh Moody’s per 11 Februari 2020; BBB+ (triple-B positive) dengan outlook stabil oleh R&I per 22 April 2021; dan BBB (triple-B flat) dengan outlook negatif oleh S&P per 22 April 2021.
Penegasan tersebut diharapkan mampu memberikan tambahan kepercayaan bagi pelaku ekonomi dalam negeri dan global bahwa prospek perekonomian Indonesia relatif stabil dan terjaga dalam beberapa waktu ke depan sesuai dengan forward looking yang menjadi cara pandang para rating agency tersebut.
Terlebih rating action terakhir yang dilakukan Fitch sebelum 22 November tersebut adalah menurunkan (downgrade) sovereign rating Peru dari BBB+ (triple-B positive) ke BBB (triple-B flat).
Tambahan kepercayaan diri tersebut cukup beralasan mengingat kekuatiran twin-deficit, yakni defisit fiskal dan current account deficit (defisit neraca berjalan) yang biasanya menjadi perhatian para investor dan rating agency global untuk mencerminkan risiko ekonomi Indonesia, diharapkan mungkin tidak akan berlaku lagi di tahun ini.
Pasalnya, data current account triwulan III/2021 yang dirilis pada 19 November mencatatkan pembalikan arah dari defisit menjadi surplus.
Baca Juga
Bahkan surplusnya mencapai US$4,5 miliar atau setara dengan 1,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sebagai catatan, surplus current account terakhir diraih pada satu dekade lalu, tepatnya pada pada triwulan III/2011.
Bagi pelaku pasar keuangan dan ekonomi Indonesia secara keseluruhan, kekuatiran twin deficit, sangat beralasan. Secara sederhana, defisit fiskal akan mengurangi kemampuan bayar instrumen utang yang diterbitkan Indonesia.
Dengan kata lain mendorong meningkatnya kemungkinan gagal bayar pemerintah terhadap Surat Berharga Negara yang diterbitkan. Adapun current account deficit akan mencerminkan menurunnya daya saing dan posisi perekonomian Indonesia dibandingkan dengan negara lain. Bisa dimaknai pula kondisi tersebut akan mendorong probability of default sektor swasta dan pemerintah ikut terkerek.
Hingga akhir 2021 kami memperkirakan kinerja current account masih akan surplus. Komponen neraca barang dan jasa yang akan menjadi penggerak utama masih akan mencatatkan kinerja positif. Hal ini khususnya didorong oleh tren surplus neraca dagang seiring dengan harga komoditas andalan ekspor Indonesia yang tumbuh signifikan sejak pertengahan 2020.
Dengan ekspektasi pemulihan sisi produksi yang masih terbatas, ditambah dengan La Nina yang mungkin akan melanda negara-negara produsen utama global maka akan sangat mungkin harga masih akan bergerak di level tinggi atau bahkan bisa saja meningkat di sisa 2021 dan tahun mendatang.
Di sisi lain harga komoditas yang baik turut mendorong penerimaan negara tumbuh 16,2 persen (cumulative-to cumulative/CtC) hingga akhir Oktober. Bahkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan bea cukai, sebagai salah satu bentuk hasil penerimaan negara yang merefleksikan intensitas perdagangan, tumbuh 25,2 persen (CtC) dan 23,5 persen (CtC). Hal ini juga mendorong penerimaan pajak tumbuh 14,7 persen (CtC) di waktu yang sama.
Perkembangan tersebut sepertinya mendorong Menteri Keuangan optimistis bahwa defisit fiskal di akhir 2021 akan mengecil ke angka 5,2 persen —5,4 persen dari PDB, jauh dibawah target APBN 2021 yang berada di angka 5,7 persen dari PDB. Walaupun begitu, defisit dari neraca jasa, khususnya dari defisit jasa transportasi, perlu menjadi perhatian, karena akan menurunkan dampak positif dari surplus neraca dagang yang berlangsung.
Defisit komponen pendapatan primer dan sekunder juga perlu menjadi perhatian. Walau tekanan dari komponen ini melandai seiring waktu, hal ini berasal dari defisit investment income, baik dari direct investment dan portfolio investment yang mengecil. Ada pula dorongan dari jumlah dan komposisi kepemilikan pasar keuangan yang makin didominasi oleh investor domestik.
Hal ini sangat terlihat dari kepemilikan tradable surat utang negara (SUN) di mana kepemilikan non-residen (asing) telah turun sebesar Rp61,4 triliun (YtD) hingga 15 November, sehingga saat ini hanya tersisa Rp925,92 triliun atau hanya 21 persen dari total tradable SUN.
Harapannya dengan current account surplus yang akan bertahan, diikuti dengan defisit fiskal yang mengecil akan mendorong aliran dana Indonesia secara keseluruhan dan tergambar dalam neraca pembayaran yang positif seperti tecermin pada triwulan III lalu sebesar US$10,7 miliar. Alhasil, peningkatan cadangan devisa akan terus berlangsung dan rupiah bisa lebih stabil.
Dengan stabilitas yang lebih baik tersebut, berikut koordinasi kebijakan ekonomi dalam negeri yang lebih prudent, termasuk dalam menjaga inflasi, bukan tidak mungkin sovereign rating Indonesia akan naik kelas dalam waktu dekat.