Bisnis.com, JAKARTA - Dari awal Rencana Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja sudah bermasalah sehingga menjadi perdebatan panas publik disertai berbagai bentuk aksi penolakan. Namun RUU tersebut tetap berjalan terus hingga pada akhirnya RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang menggabungkan beberapa UU di dalamnya disahkan DPR menjadi UU pada 5 Oktober 2020.
Salah satu tujuan pemerintah menggulirkan RUU sehingga menjadi UU Cipta Kerja adalah untuk menyederhanakan atau merampingkan regulasi dari segi jumlah peraturan agar lebih tepat sasaran.
Beberapa di antaranya penyederhanaan perizinan tanah, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengendalian lahan, kemudahan proyek pemerintah, dan Kawasan Ekonomi Khusus.
Faktanya banyak pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja yang menghilangkan hak buruh/tenaga kerja tapi di sisi lain para pengusaha tentunya sangat diuntungkan. Hal itu antara lain terlihat dalam kontrak tanpa batas di Pasal 59, hari libur dipangkas di Pasal 79, aturan soal pengupahan diganti di Pasal 88, sanksi tidak bayar upah dihapus di Pasal 91, hak memohon PHK dihapus di Pasal 169 dan lainnya.
Selain itu kemudahan izin yang diberikan kepada investor, khususnya terkait dengan Amdal berdampak buruk terhadap lingkungan yang diatur UU No. 23 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Akhirnya, pada 25 November 2021 Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai benteng terakhir pengawal konstitusi memberikan angin segar bagi rakyat dengan memutuskan UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja inkonstitusional secara bersyarat.
MK menilai bahwa dari segi formil atau pembuatan UU saja metode penggabungan atau omnibus law dalam UU Cipta Kerja tidak jelas, apakah metode tersebut merupakan pembuatan UU baru atau hanya melakukan revisi.
MK juga berpendapat dalam pembentukan UU Cipta Kerja tidak memegang teguh asas keterbukaan pada publik meski sudah melakukan beberapa pertemuan dengan beberapa pihak. Padahal hal itu merupakan salah satu aturan dalam proses pembentuk UU. Ditambah lagi draf UU Cipta Kerja tidak mudah/sulit diakses oleh publik.
Itulah sejumlah pertimbangan yang membuat UU Cipta Kerja tidak layak untuk menjadi UU, sehingga MK memutuskan inkonstitusional bersyarat selama tidak dilakukan perbaikan dalam kurun waktu dua tahun setelah putusan diucapkan.
Artinya, semua UU yang terdapat dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja tetap berlaku sampai dilakukan perbaikan dan menangguhkan segala tindakan kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas dari UU Cipta Kerja.
Melihat putusan MK terhadap UU Cipta Kerja yang menguras pikiran pemerintah dan DPR untuk menggolkannya sebagai aturan main baru, muncul banyak pertanyaan lanjutan. Dari segi formalnya saja pembuatan UU tersebut bermasalah.
Sejatinya DPR adalah penyambung lidah atas suara rakyat lewat aspirasi dan tuntutan yang disampaikan kepada pemerintah atas kebijakan dan aturan yang dikeluarkan oleh eksekutif.
DPR sebagai lembaga legislatif mempunyai fungsi sebagai pengawas jalannya pemerintahan yang dilaksanakan oleh Presiden sebagai lembaga eksekutif. Kalau fungsi pengawasan oleh DPR terhadap jalannya pemerintahan tidak seperti yang diamanatkan konstitusi, lalu kepada siapa lagi rakyat akan mengadu?
Bila demikian tentulah badan yudikatif yakni kekuasaan kehakiman atau pengadilan sebagai langkah dan upaya terakhir yang ditempuh oleh rakyat agar mendapatkan hak-hak mereka sebagai warga negara dan rasa keadilan. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi tempat berlabuh setelah rakyat berpaling dari wakilnya di DPR.
Putusan MK ini pantas diapresiasi semua pihak di tengah pesimisme rakyat akan keadilan di negeri tercinta yang semakin mahal harganya, bahkan semakin jauh dari rasa keadilan. Ini merupakan energi, semangat dan langkah baru bagi rakyat bahwa badan peradilan di Indonesia bisa dipercaya untuk mendapatkan keadilan.
Karena pada dasarnya kekuasaan kehakiman sebagai cara mendapatkan keadilan di negeri ini tidak boleh diintervensi, apalagi dimasuki kepentingan dari luar, apakah itu eksekutif maupun legislatif.
Badan peradilan tersebut harus independen sesuai amanat konstitusi dalam memberikan putusan, sehingga tujuan hukum yakni keadilan, kepastian dan kemanfaatannya bisa dirasakan oleh rakyat.
MK adalah badan atau kekuasaan kehakiman yang ada di Indonesia selain Mahkamah Agung (MA) dan peradilan yang ada di bahwanya yang lahir pasca reformasi, di mana tugas dan wewenang MK salah satunya menguji UU atas UUD 1945.
Artinya rakyat mempunyai hak untuk melakukan uji materil terhadap UU yang dianggap merugikan hak konstitusional warga negara dengan berlakunya sebuah undang-undang.
Untuk itulah DPR sebagai lembaga legislatif yang membuat UU bersama eksekutif harus teliti dan cermat dalam merumuskan setiap kata demi kata, fase-frase dan pasal demi pasal serta bebas dari pengaruh agar tidak menimbulkan kerugian bagi rakyat, sehingga UU tersebut digugat ke MK.