Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Proyeksi Inflasi 2022, Indef Sebut Sejumlah Risiko Ini Perlu Diwaspadai

Ada beberapa faktor fundamental yang memicu tekanan inflasi pada 2022, misalnya kenaikan harga energi yang akan berimplikasi pada peningkatan biaya produksi dan akan terepresentasikan dari harga jual produk/jasa tersebut.
Pedagang bawang putih beraktifitas di salah satu pasar di Jakarta, Selasa (3/3/2020). Bisnis/Abdurachman
Pedagang bawang putih beraktifitas di salah satu pasar di Jakarta, Selasa (3/3/2020). Bisnis/Abdurachman

Bisnis.com, JAKARTA — Tingkat inflasi pada 2022 diperkirakan meningkat tinggi dibandingkan dengan capaian inflasi pada 2021, seiring pemulihan ekonomi domestik.

“Indef memproyeksi tingkat inflasi pada 2022 sebesar 3,5 persen secara tahunan,” kata Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya, belum lama ini.

Berly menjelaskan, ada beberapa faktor fundamental yang memicu tekanan inflasi pada 2022, misalnya kenaikan harga energi yang akan berimplikasi pada peningkatan biaya produksi dan akan terepresentasikan dari harga jual produk atau jasa tersebut.

Dia menyampaikan, tanda-tanda kenaikan inflasi tahun depan tidak hanya terjadi pada perekonomian domestik, namun juga di negara-negara maju.

Pemulihan yang lebih cepat di negara maju telah mendorong kenaikan inflasi, sementara negara berkembang masih berupaya memulihkan daya beli dan menangani pandemi.

Faktor pemicu inflasi berikutnya yang juga perlu diantisipasi, kata Berly, yaitu risiko depresiasi nilai tukar di 2022 yang dapat mendorong kenaikan imported inflation.

Faktor gangguan produksi di dalam negeri juga dapat menjadi tantangan yang memicu peningkatan inflasi. Kontributor utama inflasi di Indonesia adalah inflasi yang bersumber dari volatilitas harga bahan pangan.

Akibat curah hujan yang tinggi dan bencana banjir yang umumnya terjadi hampir setiap tahun di berbagai daerah di Indonesia dapat memicu peningkatan inflasi.

Faktor pengerek inflasi tersebut pun masih akan diikuti oleh tantangan pemulihan daya beli masyarakat.

Indef menilai, salah satu kebijakan penggerus daya beli tersebut adalah kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11 persen yang diterapkan pada saat pemulihan ekonomi berlangsung.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Maria Elena
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper