Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Opini: Perjalanan Reformasi Subsidi BBM

Subsidi BBM bisa menghambat investasi di sektor fundamental seperti pendidikan, kesehatan, dan energi terbarukan.
Subsidi BBM./ilustrasi
Subsidi BBM./ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA - Perubahan iklim menjadi isu paling hangat di berbagai sektor di November ini. Ini tak lepas dari penyelenggaraan COP26—konferensi tingkat tinggi terkait perubahan iklim, di Glasgow, Inggris Raya, pada bulan yang sama.

Berbagai negara, termasuk Indonesia, sibuk mengampanyekan komitmennya untuk menahan laju pemanasan global. Sektor swasta juga berlomba menyampaikan laporan hasil kerja keras mereka beradaptasi dengan perubahan iklim, antara lain melalui komitmen mereka pada penggunaan energi alternatif.

Tak tertinggal, sektor publik, termasuk kelompok-kelompok masyarakat sipil ikut serta dalam hype perubahan iklim ini. Mereka gencar menunjukkan komitmennya untuk lebih efisien atau hemat dalam menggunakan energi.

Para ahli menyatakan bahwa upaya penanganan perubahan iklim tak bisa jadi tanggung jawab pemerintah semata. Kolaborasi antar sektor di atas (pemerintah-swasta-masyarakat) menjadi keniscayaan (Jensen & Ong, 2020).

Kolaborasi tersebut memungkinkan terbangunnya masyarakat yang ulet dan saling mendukung untuk kebijakan yang tak populer, seperti penghematan energi dan penggunaan energi terbarukan.

Indonesia punya pengalaman penting mengenai kolaborasi tersebut, yakni kesuksesannya mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) secara signifikan (Chelminski, 2018). Perubahan iklim dan konsumsi BBM bukanlah isu yang baru. Hanya saja kurang mendapat perhatian.

Padahal, konsumsi berlebih BBM menjadi satu penyebab utama dari perubahan iklim global. Pendorong utama overconsumption BBM ini adalah subsidi, sebuah kebijakan yang jelas tak asing di Indonesia.

Pada 2014, subsidi BBM dari berbagai negara menyumbang 13 persen dari emisi gas rumah kaca (GRK) global (IEA, 2015). Lalu, subsidi ini pun sering menyebabkan penguncian karbon (carbon lock-in) di mana pembangunan tak bisa lepas dari BBM meski potensi energi terbarukan melimpah (Seto et al., 2016).

Selain itu, subsidi BBM menghambat investasi di sektor fundamental seperti pendidikan, kesehatan, dan energi terbarukan. Bahkan, secara global, subsidi ini pada kenyataannya memanjakan orang kaya ketimbang membantu yang miskin. Karenanya, reformasi atau pemangkasan subsidi BBM menjadi kebijakan yang mendesak dalam konteks penanganan perubahan iklim.

Perjalanan reformasi subsidi BBM di Indonesia dimulai di akhir-akhir era Presiden Suharto. Upayanya untuk menyelamatkan finansial negara dari krisis moneter 1998 lewat pengurangan subsidi BBM, sayangnya, berbuah kekacauan politik yang mengakhiri tiga dekade digdaya Orde Baru.

Upaya memangkas subsidi BBM terus diusahakan, tapi kegagalan demi kegagalan terus terjadi. Namun, pada 2005—2008, subsidi BBM akhirnya berhasil dikurangi secara signifikan.

Terdapat pendekatan yang berbeda pada era tersebut dibanding era-era sebelumnya, yakni hadirnya program jaring pengaman sosial, Bantuan Langsung Tunai. Juga, pemerintah aktif berkomunikasi dengan publik dan DPR, sehingga kebijakan tersebut cepat diputuskan dan dilaksanakan.

Perjalanan reformasi subdisi BBM sempat mengalami kemunduran pada 2009 dan 2012, karena melemahnya koordinasi eksekutif-legislatif. Subsidi BBM pun meroket, mencapai hampir 30 persen APBN, melebihi belanja negara untuk kesehatan dan pertahanan.

Reformasi subsidi BBM di Indonesia kembali bergeliat sejak awal 2015. Subsidi BBM terus dikurangi secara signifikan sehingga, pada 2019 misalnya, hanya berkisar tak lebih dari 5 persen dari APBN. Kuncinya, lagi-lagi pemerintah siap dengan program jaring pengaman sosial, seperti Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Sehat. Dampak buruk sosial dan ekonomi ketika harga BBM naik pun dapat diredam.

Selain itu, dalam beberapa episode kesuksesannya (2015-sekarang), upaya mereformasi subsidi BBM mendapat dukungan berbagai organisasi masyarakat sipil, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan asosiasi bisnis seperti Kamar Dagang dan Industri Indonesia. Pemerintah aktif berkomunikasi dengan tokoh-tokoh dari organisasi tersebut dan menjelaskan urgensi dan juga kompensasi dari pemangkasan subsidi BBM (Indriyanto et al., 2013).

Dalam dua dekade lebih (1998-kini) kebijakan pemangkasan subsidi BBM di Indonesia telah bertransformasi. Dari awalnya ‘mematikan’ secara politik, sebagaimana di 1998, kebijakan tersebut kini dianggap relatif normal dan dapat secara reguler diimplementasikan.

Masyarakat juga kini menanggapinya dengan lebih rileks. Protes-protes terkait BBM, jika ada, dilaksanakan dengan konstruktif dan damai. Sebagian masyarakat bahkan kini dengan sukarela memilih BBM nonsubsidi, Pertamax misalnya, untuk kebutuhan sehari-hari.

Dalam konteks perubahan iklim, berbagai negara mengalami kesulitan dalam merumuskan kebijakan terkait, utamanya karena sulit mengajak sektor publik dan swasta ikut berpartisipasi.

Selain itu, banyak politisi enggan berpartisipasi karena isu perubahan iklim kurang menarik konstituen, atau bahkan membahayakan elektabilitasnya (Willis, 2019).

Berbekal dinamika dua dekade mereformasi subsidi BBM, Pemerintah Indonesia diharapkan dapat berperan aktif mengampanyekan rekam positif dan ‘inklusif’ dari kebijakan tersebut ke dunia internasional.

Trajektori reformasi subsidi BBM di Indonesia harapannya dapat menjadi pendorong kesuksesan bagi Indonesia sendiri dan negara-negara lain dalam pembuatan berbagai kebijakan reformatif ke depannya terkait dengan perubahan iklim.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper