Bisnis.com, JAKARTA – Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan meyakini energi fosil seperti migas dan batu bara belum memasuki masa senja setelah berkaca dari krisis energi yang terjadi di sejumlah kawasan.
Dia menyebut industri fosil seperti migas dan batu bara akan terus berkembang. Pada sektor migas, pemerintah menargetkan produksi mencapai 1 juta barel minyak dan 12 miliar kubik gas pada 2030.
Di sisi lain, batu bara masih akan memanas dalam waktu ke depan. Komoditas ini disebut menjadi penopang energi dunia di tengah melonjaknya harga migas.
“Kita sudah mengarah ke sana [EBT]. Tetapi energi [fosil] tetap menjadi pilihan utama kita. Apalagi melihat krisis energi di Eropa, China dan India karena mereka beralih ke renewable energy,” katanya saat webinar Aspebindo, Kamis (18/11/2021).
Pemerintah melalui PLN telah menerbitkan rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2021 - 2030 dengan menjadikan porsi EBT mencapai 51,4 persen. Sisanya 48,6 persen merupakan pembangkit fosil.
Pun demikian, krisis energi disebut menjadi pertanda bahwa peralihan energi fosil kepada EBT membutuhkan waktu tidak sebentar. Hal ini dapat dilihat dari krisis energi dunia.
Baca Juga
Inggris misalnya memiliki pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) dengan pembangkit berbahan bakar gas sebagai penopang. Namun tingginya harga gas menjadikan tarif dasar listrik negara itu melonjak dan mencetak sejarah baru di negara itu.
Pada akhirnya, beberapa negara termasuk Inggris kembali mengoperasikan PLTU. Begitupun dengan China. Negara adidaya ini telah berkomitmen dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca.
Situasi berubah saat China dan India beralih menggunakan energi terbarukan. Kondisi ini menjadikan negara tersebut mengalami keterbatasan pasokan energi listrik. Pada akhirnya PLTU batu bara dioperasikan kembali.
“Energi fosil masih belum bisa ditinggalkan. Belum akan menuju ke arah sunset, tapi renewable energy, iya. [Tantangannya] Bagaimana kita menciptakan energi bersih, murah, mudah dan terjangkau,” terangnya.
Selain itu, Mamit menyinggung soal teknologi energi surya masih didominasi melalui produk impor. Dia mengingatkan transisi energi harus menjadi peluang baru bagi industri menciptakan produk lokal.
Selama ini, Indonesia telah menjadi salah satu pengimpor migas akibat produksi dalam negeri tidak dapat memenuhi kebutuhan. Peralihan transisi energi ini jangan lagi menjadikan RI sebagai pengimpor EBT.
“Saya kira [aturan transisi energi] ini sangat terburu-buru dan penuh tekanan. Kita hanya 3 persen menyumbang emisi dunia. Tidak terlalu tinggi," jelasnya.
Tak hanya itu, transisi energi ini kata dia tidak dapat dilakukan sendiri oleh Indonesia. Dunia juga berkomitmen untuk mendukung reduksi emisi sebesar 40 persen.
Di sisi lain, Mamit menilai perlu adanya kebijakan fiskal agar investasi untuk transisi ini tumbuh dengan baik. Beberapa di antaranya seperti untuk kebijakan mendukung investasi pada industri electric vehicle.
Hal yang sama juga diperlukan untuk energi baru terbarukan serta migas. Hingga kini UU EBT dan UU Migas belum juga diterbitkan. Padahal kebijakan ini diperlukan untuk memberikan kepastikan hukum bagi investor.
“Kemudian terkait keamanan bagaimana Indonesia menjadi negara aman agar investor mau berinvestasi," tekannya.