Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Awas! Regulasi Transisi Energi Harus Hati-Hati

Transisi energi merupakan sebuah keniscayaan. Tetapi, penggunaan teknologi untuk mencegah perubahan iklim masih perlu akselerasi. 
Ilustrasi pembangkit
Ilustrasi pembangkit

Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Pemasok Batu Bara dan Energi Indonesia (Aspebindo) meminta pemerintah berhati-hati dalam mengambil kebijakan terhadap transisi energi ke depan. 

Asosiasi menilai bahwa transisi energi merupakan sebuah keniscayaan. Tetapi, penggunaan teknologi untuk mencegah perubahan iklim masih perlu akselerasi. 

“Kita harus sangat berhati-hati mengambil berbagai macam policy yang ada. Kita sendiri sudah berusaha fokuskan beberapa terkait risiko yang ada,” kata Ketua Umum Aspebindo Anggawira kepada Bisnis, Kamis (18/11/2021). 

Selain itu, Anggawira menilai pemain batu bara terus melakukan persiapan untuk menghadapi transisi energi tersebut. Di sisi lain, harus disadari bahwa sumber daya alam termasuk batu bara tengah berada di puncak permintaan. 

Kenaikan permintaan ini menjadikan komoditas minyak dan gas bumi hingga batu bara mengalami lonjakan harga. Hal ini diakibatkan ketidaksiapan berbagai negara dalam menerapatkan transisi energi. 

“Ini momentum yang bisa kita manfaatkan secara maksimal. Komitmen kami, kami juga melakukan pemasok energi berusaha untuk melakukan antisipasi-antisipasi terhadap berbagai regulasi yang ada,” tuturnya.

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan meyakini energi fosil seperti migas dan batu bara belum memasuki masa senja setelah berkaca dari krisis energi yang terjadi di sejumlah kawasan. 

Dia menyebut industri fosil seperti migas dan batu bara akan terus berkembang. Pada sektor migas, pemerintah menargetkan produksi mencapai 1 juta barel minyak dan 12 miliar kubik gas pada 2030. 

Di sisi lain, batu bara masih akan memanas dalam waktu ke depan. Komoditas ini disebut menjadi penopang energi dunia di tengah melonjaknya harga migas. 

“Kita sudah mengarah ke sana [EBT]. Tetapi energi [fosil] tetap menjadi pilihan utama kita. Apalagi melihat krisis energi di Eropa, China, dan India karena mereka beralih ke renewable energy,” katanya saat webinar Aspebindo, Kamis (18/11/2021). 

Pemerintah melalui PLN telah menerbitkan rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2021 - 2030 dengan menjadikan porsi EBT mencapai 51,4 persen. Sisanya 48,6 persen merupakan pembangkit fosil. 

Pun demikian, krisis energi disebut menjadi pertanda bahwa peralihan energi fosil kepada EBT membutuhkan waktu tidak sebentar. Hal ini dapat dilihat dari krisis energi dunia. 

Inggris misalnya memiliki pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) dengan pembangkit berbahan bakar gas sebagai penopang. Tetapi, tingginya harga gas menjadikan tarif dasar listrik negara itu melonjak dan mencetak sejarah baru di negara itu. 

Pada akhirnya, beberapa negara termasuk Inggris kembali mengoperasikan PLTU. Begitupun dengan China. Negara adidaya ini telah berkomitmen dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca. 

Situasi berubah saat China dan India beralih menggunakan energi terbarukan. Kondisi ini menjadikan negara tersebut mengalami keterbatasan pasokan energi listrik. Pada akhirnya PLTU batu bara dioperasikan kembali. 

“Energi fosil masih belum bisa ditinggalkan. Belum akan menuju ke arah sunset, tapi renewable energy, iya. [Tantangannya] Bagaimana kita menciptakan energi bersih, murah, mudah dan terjangkau,” terangnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper