Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa dinamika perekonomian global membawa risiko disrupsi suplai dan aliran modal. Kondisi global yang masih sangat dipengaruhi pandemi Covid-19 turut diliputi sentimen kebijakan Amerika Serikat, hingga dampak krisis energi Eropa.
Hal tersebut disampaikan oleh Sri Mulyani dalam acara CEO Networking 2021 yang diselenggarakan Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Selasa (16/11/2021). Perkembangan ekonomi global terus menjadi perhatian pemerintah karena akan berkaitan dengan langkah pemulihan ekonomi nasional (PEN).
Sri Mulyani menjelaskan bahwa Indonesia harus mampu terus menjaga pulihnya permintaan (demand) tanpa membawa dampak inflasi berlebih. Menurutnya, saat ini muncul risiko disrupsi suplai (supply disruption) ketika perekonomian nasional tumbuh, tetapi sejalan dengan kondisi global bahwa terdapat potensi kenaikan inflasi.
"Kita perlu waspada supply disruption, apabila demand lebih cepat dari supply-nya, ini membentuk demand side inflation. Kegiatan manufaktur untuk [menopang] sisi supply sangat penting," ujar Sri Mulyani pada Selasa (16/11/2021).
Menurutnya, sektor manufaktur mulai menunjukkan sinyal pemulihan yang sangat baik, seiring naiknya Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur ke 57,2 pada Oktober 2021. Meskipun begitu, laju permintaan yang lebih tinggi tetap harus diwaspadai.
Selain itu, dinamika perekonomian global pun dinilai akan berpengaruh terhadap arus modal (capital flow). Menurut Sri Mulyani, hal tersebut biasanya akan memengaruhi pergerakan harga saham maupun aktivitas keuangan lainnya, seperti penerbitan surat utang.
Baca Juga
"Berbeda dengan [tekanan akibat] Covid-19 pada 2020 lalu, tahun depan kita akan melihat dinamika global yang akan menciptakan gerakan atau flow, sangat dipengaruhi isu global. Hari ini kita lihat di Amerika Serikat siapa yang akan menjadi chairman di Federal Reserve Bank, karena Jerome Powell segera pensiun, lalu ada soal debt ceiling, inflasi yang sangat tinggi di atas 6 persen akan menimbulkan komplikasi di sisi moneter," ujarnya.
Selain di Negeri Paman Sam, kondisi Benua Biru pun akan memengaruhi dinamika ekonomi global. Sri Mulyani menjelaskan bahwa perekonomian Eropa menghadapi tekanan dari sisi energi dan geopolitik.
Kemudian, dinamika di China pun perlu menjadi perhatian. Selain kasus Evergrande, terdapat langkah cooling dan kebijakan fiskal dari pemerintah China yang merespons kondisi terkini.
"Selain munculnya juga [varian baru] Covid di China, artinya mereka melakukan respons yang cukup kuat [untuk menjaga perekonomiannya]," ujarnya.
Sri Mulyani menyampaikan bahwa kita tidak bisa mengontrol kondisi global, tetapi pemerintah dapat mengatur kebijakan fiskal untuk merespons perkembangan kondisi itu.
"Dalam proses pemulihan ini lingkungan global tidak statis, dinamis, atau cenderung volatil," ujar Sri Mulyani.