Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah membidik peningkatan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan pajak pada hilirisasi batu bara mencapai Rp136 triliun serta menghemat devisa negara hingga Rp140 triliun pada 2045.
Upaya hilirisasi untuk kebutuhan domestik tidak hanya menjadikan batu bara sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap. Akan tetapi, industri hilir akan dikembangkan dalam beberapa produk.
Pertama, pengembangan batu bara menjadi bahan kimia yang menghasilkan metanol, amonia dan produk turunan. Kedua, menjadikan batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME), metanol, syngas dan gasolin. Ketiga, menjadikan batu bara menjadi material karbon maju.
Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Sektor Minerba Irwandy Arif mengatakan bahwa saat ini akan dibangun enam pabrik gasifikasi batu bara untuk menghasilkan syngas, metanol DME dan amonia. Serta empat pabrik semi kokas dan karbon aktif.
“Ini perlu diakselerasi karena produk yang dihasilkan untuk mengurangi kebutuhan impor bahan kimia dasar,” katanya saat webinar Batubara Strategi Hilirisasi Industri Metalurgi untuk Daya Saing Bangsa, Jumat (12/11/2021).
Dari rencana hilirisasi tersebut, kementerian membidik PNBP dan pajak menjadi US$136 triliun dan dapat menghemat devisa negara hingga Rp140 triliun pada 2045.
Baca Juga
Pada 2020, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara KESDM mencatat pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp34,6 triliun. Capaian naik 110 persen dari target sebesar Rp31,41 triliun
Sementara itu, realisasi PNBP di sektor Minerba hingga kuartal III/2021 telah mencapai Rp49,67 triliun. Angka ini melonjak 127 persen dari target hingga akhir tahun ini yakni sebesar Rp39,1 triliun
Dari data Kementerian ESDM, Indonesia memiliki sumber daya dan cadangan batu bara masing-masing 144 miliar tpn dan 39 miliar ton. Diprediksi jumlah ini diprediksi bertahan hingga 70 tahun dengan produksi rerata 570 juta ton per tahun dan serapan domestik sekitar 132 juta ton.
Cadangan batu bara di Tanah Air juga didominasi oleh kadar rendah dan sedang atau lebih dari 90 persen. Meski begitu, diproyeksikan kebutuhan batu bara akan menurun mulai 2050.
“Hal ini disebabkan pengetatan lingkungan hidup khususnya power plan dan peningkatan energi batu terbarukan sebagai energi primer. Sehingga ke depan akan terjadi transisi penggunaan batu bara sebagai sumber karbon baik bahan baku kimia maupun karbon,” katanya.
Ketua Pokja Konservasi Minerba / Inspektur Tambang Ditjen Minerba Donny P. Simorangkir mengatakan bahwa pertumbuhan konsumsi batu bara domestik relatif rendah.
“Tidak sebanding dengan laju pertumbuhan produksi perusahaan pertambangan batu bara nasional,” katanya.
Hingga kini lanjutnya, 50,3 persen sumber energi listrik PLN masih berasal dari PLTU sebagai energi termurah. Di sisi lain tuntutan menurunkan pemanasan global dan isu lingkungan terus meningkat di samping lambatnya pembangunan sumber energi terbarukan.
Meski begitu, PLTU batu bara dinilai masih relatif kecil. RI menyumbang 1,62 persen pembangkit PLTU dari total dunia. Selain itu, penggunaan PLTU dalam negeri masih relatif baru dibandingkan negara eropa yang kini mulai meninggalkan komoditas itu.
“Penerapan upaya konservasi batu bara dalam rangka kaidah teknik pertambangan yang baik perlu dilakukan melalui optimalisasi cadangan batu bara untuk mendukung jaminan ketersediaan batu bara domestik utamanya PLTU, industri, tekstil semen, smelter hingga industri hilir.”