Bisnis.com, JAKARTA - Praktisi Pertambangan Irawan Poerwo menilai hilirisasi batu bara tidak semudah kajian dari banyak kalangan. Selain itu, 1.100 izin usaha pertambangan (IUP) batu bara dan ribuan tenaga kerja dipertaruhkan dari upaya ini.
Proyek hilirisasi digalakkan pemerintah sebagai upaya untuk menekan emisi karbon sesuai dengan kesepakatan paris dan COP26 di Glasgow, Skotlandia beberapa waktu lalu.
Menurutnya,teori hilirisasi memang mudah, namun pelaksanaan di lapangan tidak sederhana. Selain itu, masyarakat juga harus diberikan pengarahan soal terkait manfaat batu bara selain PLTU.
“Ada 1.100 IUP batu bara. Setengahnya saja dikurangi, berapa banyak tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan. Tidak sesimple itu hilirisasi,” katanya saat webinar Batubara Strategi Hilirisasi Industri Metalurgi untuk Daya Saing Bangsa, Jumat (12/11/2021).
Dia menceritakan proyek gasifikasi batu bara pernah direncanakan sejak 2006 di Provinsi Aceh. Akan tetapi dalam perjalannya, proyek ini batal karena sejumlah kondisi.
Pabrik batu bara di Aceh terletak di Kabupaten Aceh Barat Aceh. Kemudian, pabrik pupuk sebagai bagian dari upaya gasifikasi terletak di Aceh Utara. Dalam prosesnya, hal ini gagal dilakukan karena proses distribusi batu bara memakan waktu cukup lama hingga dua pekan.
Baca Juga
Selain itu, upaya hilirisasi hanya dapat dilakukan oleh enam pabrik batu bara di Kalimantan Timur. Namun, hal ini hanya dapat dilakukan oleh pabrik skala besar dengan cadangan melimpah. Di sisi lain, dia juga pesimistis pabrik produk hilirisasi tidak akan mampu menyerap seluruh produk tambang yang ada.
“Karena masalah hilirisasi secara teknis mudah, tapi secara sosial ekonomi, konsep industri harus dipersiapkan lebih rinci lagi, lebih detail lagi karena tidak mungkin tambang batu bara di Sumatra dibuat DME, ke mana [distribusinya],” tuturnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan bahwa mengolah batu bara menjadi energi besih masih menjadi tantangan.
Dalam upaya pengurangan emisi gas rumah kaca, perusahaan tambang sejatinya dapat memulai dengan mempercepat reklamasi lahan bekas tambang. Pasalnya deforestasi menjadi salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca.
Kemudian, pemerintah juga akan memberlakukan pajak karbon dan memanfaatkan sumber energi bersih di area pasatambang. Salah satunya telah dilakukan oleh PT Bukit Asam Tbk dengan membangun PLTS di area bekas tambang.
Lebih lanjut, pemanfaatan bahan bakar B30 juga dapat menekan emisi karbon. Bahkan upaya ini juga dijalankan oleh PLN melalui RUPTL 2021 - 2030.
“Batu bara kita belum kiamat. Kita masih punya peluang. Pembangunan batu bara di negara lain juga masih berjalan. Ini membuktikan batu bara 2050 - 2060 Indoensia sangat kompetitif,” terangnya.