Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Di Tengah Tekanan, Harga Batu Bara Masih Moncer

Komoditas ini terus mendapat tekanan dalam beberapa waktu terakhir. Teranyar, tekanan berasal dari sejumlah negara dalam KTT COP 26 di Glasgow, Skotlandia.
fasilitas conveyor belt di salah satu tambang batu bara Australia/ Bloomberg
fasilitas conveyor belt di salah satu tambang batu bara Australia/ Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA – Harga batu bara di bursa ICE Newcastle mempertahankan kinerja positif pada akhir pekan kemarin meski masih menghadapi potensi koreksi seiring adanya tekanan dari dunia terhadap energi fosil.

Bursa ICE Newcastle mencatat harga emas hitam untuk kontrak November mencapai US$155,40 per metrik ton pada Jumat (5/11/2021), naik 1,15 poin dibandingkan pada penutupan hari sebelumnya. 

Sementara itu untuk kontrak Desember, batu bara termal dihargai US$153,60 per metrik ton pada hari yang sama. Catatan ini naik 1,65 poin atau 1,09 persen dibandingkan pada penutupan perdagangan sebelumnya. 

Meski batu bara termal menjauh dari harga US$200 per metrik ton, nilai ini masih terbilang tinggi. Terakhir kali bara berada di kisaran US$150 per metrik ton tercatat pada Juli 2021. Sebagai perbandingan, pada Januari 2021, batu bara masih dihargai US$85 per metrik ton. 

Komoditas ini terus mendapat tekanan dalam beberapa waktu terakhir. Teranyar, tekanan berasal dari sejumlah negara dalam KTT COP 26 di Glasgow, Skotlandia. Adapun 20 negara sepakat untuk tidak lagi memberikan pendanaan terhadap pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara. 

Adapun negara dan empat lembaga keuangan yang menandatangani pernyataan itu adalah Kanada, Amerika Serikat, dan Denmark. Selain itu 18 negara termasuk Vietnam, Polandia, dan Chili juga kompak meneken kesepakatan untuk menghapus penggunaan batu bara. 

Di sisi lain, komoditas penyumbang pendapatan negara bukan pajak tersebut juga harus menghadapi isu mempensiunkan PLTU. 

Di Indonesia, pemerintah akan melakukan pensiun dini terhadap PLTU mulai 2030 dengan total kapasitas mencapai 5,5 gigawatt (GW). PLTU ini nantinya akan diganti dengan pembangkit tenaga energi baru terbarukan (PLT EBT).

Proses retirement ini pula disebut Menteri Keuangan Sri Mulyani memakan waktu hingga 8 tahun. Sementara itu, proses ini juga memakan biaya tidak sedikit untuk mengganti PLTU dengan PLT EBT. Proyek tersebut akan memakan ongkos sekitar US$25 miliar - US$30 miliar atau setara Rp350 triliun hingga Rp420 triliun. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper