Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kenaikan Cukai Roko Perlu Pertimbangkan Pemulihan Ekonomi

Pemerintah perlu merumuskan formula baku mengenai kenaikan cukai rokok tahun depan dengan memperhatikan pengendalian kesehatan, tenaga kerja, penerimaan negara, peredaran rokok ilegal, dan petani tembakau.
Ilustrasi - Buruh pabrik mengemas rokok SKT di Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT) Kudus./Bisnis-Muhammad Faisal Nur Ikhsan
Ilustrasi - Buruh pabrik mengemas rokok SKT di Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT) Kudus./Bisnis-Muhammad Faisal Nur Ikhsan

Bisnis.com, JAKARTA — Institute for Development of Economics and Finance atau Indef menilai bahwa pemerintah perlu mempertimbangkan aspek pemulihan ekonomi dalam penentuan kenaikan cukai rokok tahun depan, termasuk aspek-aspek lain seperti kesehatan hingga tenaga kerja.

Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad menjelaskan bahwa persentase merokok pada penduduk berusia di bawah 18 tahun turun menjadi sebesar 3,87 persen dan 3,81 persen. Catatan itu menurutnya menunjukkan bahwa kenaikan cukai menjadi salah satu faktor yang berhasil menjaga persentase perokok.

Meskipun begitu, menurutnya, pemerintah harus memperhatikan aspek pemulihan ekonomi dalam menentukan kenaikan cukai tahun depan.

"Konsistensi dalam pelaksanaan penerapan formula atau dimensi sehingga dapat memberikan kepastian bagi kesehatan, dunia usaha, maupun masyarakat, " ujar Tauhid pada Senin (8/11/2021) melalui keterangan resmi.

Menurutnya, pemerintah perlu merumuskan formula baku mengenai kenaikan cukai dengan tetap memperhatikan pengendalian kesehatan, tenaga kerja, penerimaan negara, peredaran rokok ilegal, dan petani tembakau. Kebijakan itu harus selalu menyesuaikan dengan perkembangan data setiap tahunnya.

Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan berharap kebijakan relaksasi terhadap industri berlanjut. Pihaknya pun merekomendasikan agar pemerintah melakukan strategi kebijakan extra ordinary untuk memberantas rokok ilegal.

"Kami berharap pemerintah bersimpati dan empati kepada industri dengan memberikan relaksasi pada 2022 dan melihat kemungkinkan untuk 2022 tidak ada kenaikan cukai, dan tidak ada lagi kebijakan yang memberatkan industri tembakau," ujarnya.

Adapun, akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran (Unpad) Wawan Hermawan menjelaskan bahwa rata-rata prevalensi merokok usia 15 tahun ke atas di negara-negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) adalah 17,1 persen.

Menurutnya, mayoritas negara dalam menunjukkan tren penurunan prevalensi merokok untuk usia 15 tahun ke atas, termasuk di Indonesia. Meskipun begitu, Indonesia merupakan salah satu negara dengan rata-rata prevalensi merokok untuk usia 15 tahun ke atas yang lebih tinggi dari rata-rata OECD.

"Kenaikan harga cukai rokok di Indonesia sudah berhasil menurunkan prevalensi merokok, sehingga peningkatan cukai rokok yang terlalu tinggi dikhawatirkan bisa menyebabkan perubahan konsumsi pada jenis rokok yang lebih murah, seperti rokok subtitusi atau rokok ilegal, alhasil bisa meningkatkan prevalensi merokok akibat mengkonsumsi rokok yang lebih murah," ujar Wawan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper