Bisnis.com, JAKARTA — Institute for Development of Economics and Finance atau Indef menilai bahwa pertumbuhan ekonomi kuartal III/2021 senilai 3,51 persen terjadi karena tekanan luar biasa di sektor konsumsi, khususnya konsumsi rumah tangga.
Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi kuartal III/2021 lebih rendah dari ekspektasi berbagai pihak, termasuk pemerintah. Hal tersebut terjadi karena tertekannya aspek konsumsi yang memiliki distribusi besar terhadap produk domestik bruto (PDB).
Tauhid menjabarkan bahwa pada kuartal III/2021, pengeluaran konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 1,03 persen (year-on-year/YoY), angka itu melambat dari kuartal II/2021 dengan pertumbuhan 5,96 persen (YoY). Konsumsi lembaga non profit yang melayani rumah tangga (LNPRT) pun sama, pada kuartal III/2021 tumbuh 2,96 persen (YoY), melambat dari kuartal II/2021 yakni 4,15 persen (YoY).
Konsumsi pemerintah bahkan tercatat lebih melambat. Pada kuartal III/2021, pertumbuhannya hanya 0,66 persen (YoY), padahal pada kuartal II/2021 tumbuh 8,03 persen (YoY) dan setahun sebelumnya atau kuartal III/2020 tumbuh 9,76 persen (YoY).
"Padahal kalau kita lihat, tiga komponen ini sudah menyumbang lebih dari 64 persen dalam distribusi ekonomi kita. Kalau katakanlah konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah tekanannya cukup berat, maka secara agregat pertumbuhan ekonomi kita juga akan berat," ujar Tauhid pada Jumat (5/11/2021).
Konsumsi rumah tangga mencatatkan distribusi 53,45 persen terhadap PDB, konsumsi pemerintah 9,45 persen, lalu konsumsi LNPRT 1,45 persen. Dengan distribusi itu, Indef menilai bahwa tantangan dalam konsumsi akan membawa pengaruh besar terhadap perekonomian.
Baca Juga
Tauhid menilai bahwa tertekannya konsumsi rumah tangga terlihat dari perlambatan pertumbuhan di beberapa sektor, seperti makanan dan minuman selain restoran (0,79 persen); pakaian, alas kaki, dan jasa perawatannya (-0,46 persen); serta transportasi dan komunikasi (-0,21 persen).
Adapun, menurut Tauhid, konsumsi pemerintah yang hanya naik 0,66 persen menunjukkan tidak efektinya kebijakan fiskal di tengah pandemi, terutama saat gelombang kedua Covid-19 akibat varian delta terjadi.
Padahal, pemerintah semestinya mengambil pelajaran dari pengelolaan anggaran pada 2020, saat pandemi pertama kali menghantam Indonesia.
"Artinya konsumsi pemerintah tidak terkerek, banyak belanja barang dan sebagainya yang tidak terpengaruh Covid karena pemerintah masih bisa berjalan. Ini menunjukkan tidak efektifnya kebijakan fiskal di tengah pandemi, terutama kemarin saat gelombang kedua," ujarnya.
Komponen lainnya, yakni pembentukan modal tetap bruto (PMTB) mencatatkan pertumbuhan 3,74 persen (YoY). Komponen dengan distribusi 31,75 persen terhadap PDB ini memberikan dorongan cukup baik bagi pertumbuhan ekonomi, meskipun menurut Tauhid belum cukup menjaga tekanan dari sisi konsumsi.
Ekspor kuartal III/2021 tercatat tumbuh 29,16 persen (YoY) dan impor tumbuh 30,11 persen (YoY). Menurut Tauhid, pemerintah perlu mencermati laju pertumbuhan impor yang lebih tinggi dari ekspor.
"Meskipun tadi oleh Badan Pusat Statistik [BPS] disampaikan bahwa dorongan pertumbuhan disebabkan oleh ekspor dan impor, tetapi nyatanya [distribusi] net ekspor ini hanya 4,13 persen [terhadap PDB]. Jadi memang pertumbuhan ekonomi kita sangat tertekan, terutama dari konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah," ujarnya.