Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sedang mengkaji pemanfaatan dan pemilihan tenaga surya untuk menunjang operasi bandara berkolaborasi dengan Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan ITB (LPIK ITB).
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Transportasi Udara Novyanto Widadi mengatakan bandara menjadi salah satu objek dengan konsumsi energi yang cukup besar sehingga apabila dilakukan efisiensi energi sedikit saja, hasil yang didapatkan akan cukup signifikan.
"Saat ini pembangkitan dan penggunaan energi di Indonesia masih didominasi oleh bahan bakar fosil, yang menghasilkan produk sampingan berupa gas rumah kaca [GRK] seperti karbon dioksida [CO2]," katanya, Rabu (27/10/2021).
Novy menambahkan, sesuai dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2015-2050, pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) ditargetkan mencapai kapasitas 6,5 GW pada 2025 dan 45 GW pada 2050. Jumlah tersebut kurang lebih 22 persen dari total potensi energi surya di Indonesia.
Lebih lanjut dia menyebut, dalam dokumen tersebut juga tertulis salah satu kegiatan pemanfaatan sumber energi terbarukan dari jenis energi sinar matahari adalah pembangunan PLTS bagi fasilitas transportasi.
Sementara itu ketua Tim Peneliti ITB Pekik Argo Dahono menuturkan bahwa saat ini, dunia sedang gencar berupaya mengurangi gas rumah kaca, salah satunya dengan menggunakan energi baru terbarukan (EBT). Kebijakan ini gencar dilakukan setelah adanya Paris Agreement pada 2015 yang salah satu sasarannya adalah bandara.
Baca Juga
"Bandara memiliki potensi luasan lahan maupun atap bangunan yang sangat memungkinkan untuk dipasang sistem PLTS. Oleh karena itu, potensi ini harus dimanfaatkan secara maksimal agar bisa menjadi sumber penyuplai energi listrik yang lebih ramah lingkungan bagi bandara," sebutnya.
Dia memerinci, untuk mendukung penelitian ini, dilakukan survei ke tiga bandara sampel yakni, Bandara Internasional Komodo-Labuan Bajo, Bandara APT Pranoto-Samarinda, dan Bandara Maratua-Berau, Kalimantan Timur.
Sementara itu sambungnya, terdapat beberapa rekomendasi kebijakan yang dihasilkan, antara lain regulasi pemanfaatan area non-atap pada bandara untuk pemasangan PLTS, insentif finansial pemasangan PLTS di bandara, mewajibkan standarisasi komponen PLTS yang digunakan di bandara, mengeluarkan panduan mengenai asesmen potensi bahaya akibat pemasangan PLTS di bandara.
Selanjutnya mengeluarkan panduan teknis assessment lokasi pemasangan PLTS di bandara, mewajibkan standarisasi pemasangan PLTS yang digunakan di bandara, mengoptimalkan pemanfaatan fasilitas insentif pajak, diperlukan skema pendanaan serta kebijakan fiskal yang sesuai untuk proyek PLTS bandara, skema on-use adalah skema yang paling cocok digunakan pada kebanyakan bandara Indonesia, dan edukasi tentang renewable energy.
Kepala Seksi Tata Lingkungan dan Kawasan Bandar Udara Direktorat Bandar Udara Nasrulloh menambahkan bahwa penggunaan PLTS sejalan dengan Rencana Strategis Direktorat Jenderal Perhubungan Udara 2020-2024 tentang upaya penurunan emisi gas buang.
“Saat ini belum banyak bandara yang mengaplikasikan penggunaan solar cel dan hybride energi sebagai sumber energi untuk Operasional Bandar Udara. Selain itu yang menjadi tantangan adalah pemasangan PLTS apakah dapat mengganggu alat navigasi di bandara dan dapat mengundang hewan liar untuk berteduh dan bersarang di bawahnya,” imbuhnya.