Bisnis.com, JAKARTA – Realisasi bauran energi baru dan terbarukan yang tercatat lebih rendah jika dibandingkan tahun lalu yang menggambarkan kondisi yang berat untuk Indonesia.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa menyayangkan realisasi bauran EBT yang lebih rendah dari capaian tahun lalu yakni sebesar 11 persen.
Menurut Fabby, hal itu terjadi karena bauran pembangkit fosil yang naik lebih tinggi dan tambahan pembangkit EBT sangat kecil.
Di menjelaskan rendahnya peningkatan pembangkit EBT disebabkan proyek-proyek EBT tidak berjalan optimal karena masih terkena dampak Permen ESDM No. 50/2017 dan Permen ESDM No. 10/2017 yang membuat proyek EBT menjadi tidak menjadi ramah untuk pendanaan.
Di sisi lain, untuk mengejar target 23 persen bauran EBT pada 2025, seharusnya sejak 2020, rata-rata kapasitas pembangkit naik 3.000 MW per tahunnya. Tetapi, dalam 2 tahun terakhir penambahan per tahun hanya 10 persen - 15 persen dari yang seharusnya.
"Kalau sampai akhir tahun ini mungkin tidak banyak juga, sepertinya akan tetap di 11 persen dan ini pun disumbang oleh PLTS atap komersial dan industri yang mulai tumbuh sejak 2 tahun terakhir," katanya kepada Bisnis, Jumat (22/10/2021).
Dia menjelaskan untuk target-target pada sektor EBT yang dipatok tidak terlalu agresif tahun ini dinilai masih terdapat kemungkinan untuk dicapai.
Namun, untuk target mencapai bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025 dinilai akan menjadi berat jika mengacu pada realisasi yang ada.
"Untuk mencapai 23 persen tampaknya masih cukup berat. Kalau pembangkit EBT yang COD tahun ini, proses pengadaannya mungkin dari 2018/2019. Padahal kita tahu bahwa akibat Permen ESDM No. 50/2017 banyak proyek EBT tidak berjalan," jelasnya.