Bisnis.com, JAKARTA - Catatan kinerja 2 tahun kepemimpinan ekonomi diwarnai dengan upaya menanggulangi bencana Covid-19. Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) yang semula diarahkan untuk mencetak pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas, harus direalokasi penggunaannya untuk mengatasi masalah krisis kesehatan yang menjangkiti ekonomi.
Kendati telah mengunakan APBN, pemerintah tetap memerlukan pembiayaan utang dalam penanganan pandemi. Pasalnya, pandemi telah melumpuhkan perekonomian rakyat. Banyak UMKM dan dunia usaha yang menutup usaha selama aturan pembatasan sosial diberlakukan.
Dari catatan Kemenkeu, utang pemerintah telah mencapai sebesar Rp6.625,43 triliun pada Agustus 2021. Angka ini setara dengan 40,85 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Sejak awal tahun hingga Agustus 2021, pemerintah telah menarik utang Rp 550,6 triliun. Penarikan utang ini mencapai 46,8 persen dari target utang dalam APBN 2021 sebesar Rp 1.177,4 triliun.
Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani menuturkan penarikan utang tersebut masih lebih rendah 20,5 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2020.
"Kalau sekarang kita meng-issue Rp550,6 triliun ini hanya 46,8 persen, ini sudah bulan Agustus. Jadi jauh lebih kecil dari yang ditargetkan," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita, Kamis (23/9/2021).
Baca Juga
Jika dilihat dari batas amannya, UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara menetapkan rasio utang terhadap PDB tersebut masih berada di batas aman, yakni di bawah 60 persen.
Achmad Nur Hidayat, Ekonom Narasi Institute, mengungkapkan akumulasi utang menjadi persoalan fundamental yang akan menghambat ekonomi tumbuh lebih tinggi di masa depan.
"Hal tersebut tidak mungkin dibiarkan oleh keluarga besar bangsa Indonesia yang memiliki visi Indonesia menjadi 5 besar pemimpin dunia. Ini masuk zona merah kepemimpinan ekonomi yang menghambat larinya ekonomi lebih kencang," kata Hidayat, Jumat (22/10/2021).
Dalam kurun 2020-2021, Indonesia sudah masuk jebakan utang (debt trap) sehingga untuk membayar bunga utang perlu menambah utang baru tanpa utang baru Indonesia menjadi negara default (tidak mampu bayar utang).
"Betapa tidak, Rasio Pajak atas PDB [tax ratio] terus menurun, 2021 ini diprediksi hanya 8,1 persen menurun dari periode sebelum pandemi yaitu 10,24 persen [2018] dan 9,76 persen [2019]," ujarnya.
Di saat bersamaan, Indonesia harus membayar bunga utang utang 2021 sebesar Rp370 triliun harus dengan utang baru, belum lagi membayar pokok utang jatuh tempo 2021 sebesar hampir Rp400 triliun tidak ada cash selain menambah utang baru lagi.
Dia menilai penambahan utang baru untuk membayar bunga utang dan pokoknya jatuh tempo terlihat dari prime balance (keseimbangan primer) neraca pembayaran yang terus negatif.
"Defisit keseimbangan primer Indonesia sebesar Rp116,35 triliun hingga semester I/2021. Defisit ini meningkat 16,8 persen dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 99,6 triliun."
Keseimbangan primer merupakan selisih dari pendapatan negara dikurangi belanja negara di luar pembayaran bunga utang.
"Karena terjadi defisit, maka tidak ada dana untuk membayar bunga utang, sehingga sebagian atau seluruh bunga utang dibayar dengan penambahan utang baru. Itulah kesimpulan negatifnya keseimbangan primer," paparnya.
Dia menilai keseimbangan primer negatif tersebut sudah makin parah dalam 2 tahun terakhir artinya sejak 2020-2021 terakhir Indonesia memilih strategi fiskalnya dengan strategi gali lubang tutup jurang.
"Bila strategi fiskal tersebut terus dilakukan maka Indonesia akan memasuki kerentanannya yang paling dalam. Nilai tukar menjadi terekspose dari serangan spekulan global dan IHSG menjadi volatile di tahun-tahun kedepan."
Menurutnya, strategi fiskal yang dipilih Presiden Jokowi beserta tim ekonominya telah menimbulkan beban sejarah untuk generasi kepemimpinan Indonesia berikutnya. Oleh karenanya zona merah tersebut tidak boleh diteruskan.
"Pak Jokowi, jalan utang ini bukan jalan yang benar untuk menjadikan Indonesia menjadi lima besar dunia, masih ada jalan lain dan jalan itu harus dipimpin oleh anak muda bukan mereka yang berfikir old fashion," tegasnya.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengingatkan jika dilihat dari indikator cadangan devisa, tingkat utang pemerintah telah memasuki fase mengkhawatirkan.
Misalnya, rasio utang pemerintah terhadap cadangan devisa telah mencapai 148 persen.
“Rasio utang pemerintah sudah agak berat dari sisi cadangan devisa, dengan rasio 148 persen, saya kira situasi ini agak mengkhawatirkan,” katanya kepada Bisnis, Rabu (29/9/2021).
Sri Mulyani menegaskan bahwa seluruh utang dan pinjaman yang ditarik pemerintah dikelola secara bertanggung jawab dan hati-hati.
“Perlu kita sikapi dan dijawab, serta ditunjukkan dengan bukti bahwa kita mengelola seluruh utang dan pinjaman secara bertanggungjawab, berhati-hati, dan berhasil guna,” katanya.
Kendati demikian, kekhawatiran terkait utang masih menghantui.
Faisal Basri menghitung utang pemerintah pusat pada akhir 2022 akan mencapai Rp8.110 triliun. Dengan demikian rasio utang tahun depan akan mencapai 45,3 persen terhadap PDB.
Meskipun utang bertumpuk, dia yakin pemerintah tidak akan gagal bayar. “Gak, gak akan gagal bayar InsyaAllah. Apapun akan dilakukan pemerintah,” kata Faisal Basri, Jumat (1/10/2021).
Ekonom senior dari Universitas Indonesia tersebut menilai ada kompensasi atas keputusan pemerintah tersebut, misalnya anggaran untuk gaji pegawai negeri sipil atau PNS tidak akan naik.
Namun, dia tetap mengingatkan perkiraan utang tahun depan bisa melesat naik jika pertumbuhan ekonomi tidak sesuai dengan target APBN 2021 dan 2022.
Selain itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sudah memperingatkan pemerintah terkait dengan risiko utang RI pada pertengahan tahun ini.
BPK mencatat rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan negara pada 2020 yang mencapai 19,06 persen.
Angka tersebut melampaui rekomendasi Dana Moneter Internasional (IMF) yang sebesar 7-10 persen dan standar International Debt Relief (IDR) sebesar 4,6-6,8 persen.
Rasio pembayaran utang pokok dan bunga utang luar negeri (debt service ratio) terhadap penerimaan transaksi berjalan pemerintah telah mencapai 46,77 persen pada 2020.
Angka tersebut telah melampaui rekomendasi IMF yang sebesar 25-35 persen.
Berdasarkan standar IDR, nilai tersebut masih dalam rentang aman, yakni sebesar 28-63 persen.
Lebih lanjut, rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369 persen melampaui rekomendasi IDR sebesar 92 persen - 167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90 persen - 150 persen.
Meskipun, pemerintah mengungkapkan bahwa pengelolaan utang aman. Sekali lagi, angka yang berbicara. Bisa dipastikan, kenaikannya membuat berbagai lapisan masyarakat deg-degan.