Opsen Pajak daerah dalam Rancangan Undang-Undang Hubungan Keuangan Pusat Daerah (RUU HKPD) hadir sebagai solusi penguatan fiskal daerah. Skema opsen didefinisikan sebagai pungutan tambahan atas jenis pajak tertentu di daerah.
Keberadaan opsen diharapkan mendongkrak penerimaan yang selama ini minim dan bergantung pada dana transfer. Cita-cita kemandirian fiskal niscaya tercapai bilamana skema ini berjalan efektif.
Fakta problematiknya, definisi pungutan tambahan berpotensi menghadirkan beban baru bagi wajib pajak. Pengenaan opsen dengan persentase tertentu secara tidak langsung akan mendistorsi pendapatan daerah apabila salah dalam menentukan tarif.
Kecenderungan daerah untuk menetapkan tarif pajak maksimal akan berdampak pada tingginya opsen yang dibebankan kepada wajib pajak. Jadi, opsen sebagai pungutan tambahan mendulang resistensi wajib pajak, khususnya pelaku usaha.
Pengaturan opsen dalam RUU HKPD melekat pada tiga jenis pajak, yakni Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), dan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batubara (MBLB).
Pemerintah menyampaikan bahwa ketentuan opsen (PKB dan BBNKB) akan menggantikan skema bagi hasil antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Opsen MBLB sendiri hadir sebagai stimulus pemda dalam agenda penguatan pengawasan kegiatan pertambangan di daerah.
Ihwal Opsen MBLB, bila pemda kabupaten/kota menetapkan tarif pajak MBLB sebesar 20 persen (sesuai RUU) maka pemda provinsi akan menerima opsen sebesar 25% dari tarif Pajak MBLB atau sebesar 5 persen.
Pengaturan ini tidak akan menambah beban WP dari sebelumnya maksimum 25 persen dalam UU 28/2009 tentang PDRD menjadi 25 persen (20 persen kabupaten/kota dan 5 persen opsen provinsi). Menilik kalkulasi tersebut, opsen merupakan pungutan tambahan dengan akumulasi yang tidak melebihi tarif pajak UU 28/2009.
Manakala definisi pungutan tambahan berlaku pada PKB, tarif maksimal PKB dalam RUU ini adalah 1,5 persen dan opsen PKB adalah 40 persen dari tarif tersebut (0,6 persen). Alhasil, tarif yang harus dibayarkan wajib pajak adalah 2,1 persen. Jika dibandingkan dengan tarif PKB UU 28/2009 (2 persen), beban wajib pajak dalam rezim ini lebih besar daripada tarif existing.
Rezim existing (UU 28/2009) memberlakukan tarif BBNKB maksimal 20 persendan diberlakukan tarif progresif. Perbedaanya, RUU ini menetapkan tarif BBNKB maksimal adalah 20 persen dan 30 persen dari tarif tersebut (6 persen) diopsenkan dengan hilangnya sistem progresif.
Ketika dijumlah, tarif yang harus dibayarkan wajib pajak adalah 26 persen, sehingga terjadi kenaikan beban wajib pajak sebesar 6 persen. Fakta problematiknya, ketentuan ini justru akan membebani mayoritas pemilik kendaraan pertama, karena tidak semua wajib pajak terkena kewajiban untuk membayar progresif dan tidak semua wajib pajak memiliki kendaraan ganda atau lebih.
Prinsip pungutan tambahan sebagai ruh opsen akan menghadirkan peningkatan pendapatan daerah. Persoalan keterbatasan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang menjadi keresahan mayoritas pemda bisa teratasi secara perlahan. Sebagaimana pertimbangan opsen MBLB, hadirnya opsen bisa menjadi opsi sumber pelaksanaan pengawasan perizinan dan pelayanan teknis lainnya di daerah.
Namun, model Leviathan menyatakan bahwa pengenaanan tarif pajak yang lebih tinggi belum tentu mengoptimalkan pendapatan daerah. Prinsipnya, penerimaan daerah pada dasarnya bergantung pada kepatuhan wajib pajak.
Kepatuhan yang diterminasi oleh tingginya tarif pajak menjadi problematika klasik yang masih sulit dibenahi. Model Leviathan semestinya menjadi konsideran bagi pemda untuk bertindak taktis dalam menguatkan fiskal daerah tanpa memperparah persoalan kepatuhan. Studi OECD (2009) menunjukan bahwa tingginya beban pajak akan mengurangi pertumbuhan iklim usaha.
Upaya pemerintah untuk mendongkrak pendapatan daerah semestinya tidak serta merta membebani dunia usaha. Pemberlakuan opsen pajak mestinya menempatkan kemampuan pemda untuk memungut pajak, administrasi pajak pusat mengenai kedudukan/domisili yang dikaitkan dengan kewenangan pemerintah daerah, serta potensi kehilangan pendapatan di tingkat pusat sebagai konsideran dalam kebijakan fiskal daerah.
Apabila pemerintah tetap berpegang pada definisi opsen sebagai pungutan tambahan, tarif opsen perlu diselaraskan agar tambahan pungutan tersebut tidak menimbulkan distorsi beban pajak dibandingkan dengan tarif existing.
Mekanisme ini dapat diberlakukan pada opsen PKB (mengubah tarif opsen jadi 33 persen) dan opsen BBNKB (mengubah tarif menjadi 5 persen—10 persen), sehingga semangatnya selaras dengan opsen MBLB.
Opsi kedua, mengubah definisi opsen sebagai skema bagi hasil. Berbeda dengan bagi hasil yang bersumber atas penerimaan yang terkumpul lalu dibagikan, skema opsen mengatur tata laksana administrasi pembagian ketika menerima setoran pajak oleh wajib pajak.
Dengan tarif yang sama seperti RUU HKPD, skema ini tidak akan membebani wajib pajak karena pembagian dilakukan secara administratif tanpa konsekuensi tarif.
Niat pemerintah untuk mengatasi flypaper effect keuangan daerah berpotensi terhambat karena pemaknaan pungutan tambahan. Agenda mendesak pemerintah adalah memberikan batasan definisi opsen secara jelas dan memastikan kalkulasi opsen tidak akan membebani wajib pajak, khususnya pelaku usaha.
Semestinya opsen tidak mengedepankan fungsi budgeter semata untuk mendongkrak pendapatan. Fungsi pajak sebagai regulerend perlu diperkuat agar opsen turut berperan dalam penguatan ekosistem investasi daerah.