Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terkendala Bahan Baku, Harga Produk Tekstil Naik Tidak?

Sekretaris Jenderal Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan kemacetan suplai bahan baku mendorong integrasi industri TPT dari hulu ke hilir.
Pekerja meyelesaikan pembuatan pakaian di pabrik garmen PT Citra Abadi Sejati, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (8/9/2018). /JIBI-Nurul Hidayat
Pekerja meyelesaikan pembuatan pakaian di pabrik garmen PT Citra Abadi Sejati, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (8/9/2018). /JIBI-Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA — Ketersediaan bahan baku impor menjadi tantangan terbaru industri tekstil dan produk tekstil (TPT) seiring krisis energi di India dan China. Selain itu, harga kapas di pasar dunia juga telah mencapai angka tertinggi dalam satu dekade.

Namun demikian, pelaku industri menjamin tak akan ada kenaikan harga di tingkat konsumen karena masalah bahan baku tersebut.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan kemacetan suplai bahan baku mendorong integrasi industri TPT dari hulu ke hilir. Terlebih, penggunaan kapas dalam beberapa tahun terakhir telah mampu disubstitusi oleh serat lain seperti polyester dan viscose.

Redma mengatakan industri hulu dalam negeri telah mampu memenuhi kebutuhan domestik akan polyester dan viscose.

"Industri tekstil kita integrasinya lumayan membaik sehingga kami tidak khawatir dengan kondisi dunia yang carut-marut. Kami menjamin tidak ada kenaikan harga yang signifikan di hilir," ujar Redma, Jumat (15/10/2021).

Namun demikian, Redma menggarisbawahi, kemungkinan kenaikan harga di hilir dapat disebabkan oleh tingginya ongkos energi khususnya batu bara.

Dia meminta agar pemerintah segera turun tangan mengintervensi ketersediaan pasokan batu bara untuk industri sekaligus keterjangkauan harganya.

Direktur Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kementerian Perindustrian Elis Masitoh juga menjamin tidak akan ada inflasi sandang akibat program substitusi impor. Justru, program tersebut akan mengurangi angka pengangguran, menaikkan daya beli masyarakat, sekaligus menaikkan integrasi industri hulu ke hilir.

"Kenaikkan tidak akan signifikan, apalagi sudah ada jaminan dari industri tidak akan menaikkan harga," katanya.

Kemenperin diketahui menargetkan subtitusi impor sebesar 35 persen pada tahun depan. Pada tahun lalu pergeseran impor ke produksi domestik dipatok 10 persen, naik menjadi 20 persen pada tahun ini, dan 2022 diharapkan tercapai 35 persen.

Dia juga mengatakan Kemenperin berkoordinasi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk meminta kenaikan domestic market obligation (DMO) batu bara. Hal itu diharapkan dapat segera memenuhi kebutuhan industri tekstil akan energi di masa pulihnya permintaan pasar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Reni Lestari
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper