Bisnis.com, JAKARTA- Centre of Reform on Economics (CORE) Indonesia mencatat, adanya selisih perhitungan kadar nikel pada perusahaan penyurvei ditingkat pabrik pengolahan atau smelter tidak hanya merugikan para penambang nikel, melainkan berdampak pada penerimaan negara dari sektor tersebut.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal membeberkan perbedaan hitungan kadar nikel itu terjadi di sisi hilir yang dilakukan oleh perusahaan penyurvei dari pihak pemilik smelter. Padahal, dari sisi hulu pemerintah sudah menetapkan sejumlah perusahaan penyurvei yang boleh dan di izinkan untuk melakukan verifikasi atas kadar nikel tersebut.
“Investor di sisi hilir mnetapkan lebih rendah kadarnya dibandingkan sisi hulu dan dengan penetapan kadar yang sangat signifikan perbedaannya. misalnya di hulu dalam kasus Morowali ditetapkan kadarnya 1,87%, sementara di smelter, penyurvei menetapkan 1,5%. ini sebetulnya perbedaan yang mengundang tanda tanya karena sangat jauh perbedaannya,” ungkap Mohammad Faisal dalam Webinar CORE Media Discusion, belum lama ini.
Dengan adanya selisih perhitungan itu, kata Mohammad Faisal, tidak hanya merugikan pihak penambang atau pengusaha nikel melainkan juga merugikan negara. Sebagai contoh, dari selisih hitungan antara kadar 1,87% menjadi kadar 1,5% terdapat selisih sebanyak 0,37%.
Jika 0,37% itu dikalikan dengan Harga Patokan Mineral (HPM) dan nilai tukar rupiah ke dollar Amerika Serikat (US) pada tahun 2020 (dalam kasus tahun lalu) serta dikalikan produksi nikel sekitar 14 juta ton, maka kerugian negara dari pembayaran royalti bisa mengalami pengurangan setara Rp 400 miliar per tahun.
“Angka Rp 400 miliar per tahun itu kalau kita mengacu ke kasus tahun 2020. Dan ini baru dari royalti saja belum dari pos-pos penerimaan yang lain, bahkan ini dari satu tempat saja seperti kasus di Morowali,” ungkap Mohammad Faisal.
Di sisi lain, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mencurigai adanya permainan di tingkat hilir pada saat melakukan verifikasi. “Kalau misalnya antara perusahaan penyurvei yang diterbitkan dengan pelabuhan muat dan bongkar terlalu jauh perbedaannya, ini ada apa?” kata Meidy.
Oleh karena itu, ia meminta supaya pemerintah melakukan investigasi untuk mengetahui permasalahan ini. Sehingga bisa diketahui apakah kesalahan selisih hitungan ini ada di pihak hulu atau di hilir. “Karena jika kami membayar royalti berdasar COA muat 1,8% tapi jika di COA bangkar terjadi penurunan kadar artinya perbedaan 0,1%-0,5% sudah sangat tidak worth it,” jelasnya.
Seperti yang diketahui dalam Permen ESDM nomor 11/2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batu Bara, apabila terjadi perbedaan kadar bisa melakukan umpire untuk menunjuk pihak ketiga atau surveyor pihak ketiga. “Sayangnya dalam praktiknya banyak perusahaan nikel juga mengajukan umpire tapi perusahaan tersebut di-blacklist dan tidak bisa melaksanakan penjualan ke smelter,” tandas Meidy.
Ketika dikonfirmasi atas permasalahan ini, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Ditjen Minerba Kementerian ESDM, Sugeng Mujianto mengatakan bahwa sampling menjadi kunci dalam proses hitung kadar nikel. "Dalam satu volume yang besar dan heterogen maka sampling menjadi salah satu kunci utama," jelasnya.