Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Konsensus Pajak Global Buka Peluang Penerapan PPh Perusahaan Multinasional

Kesepakatan proposal Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) yang memiliki dua pilar dapat membuka peluang bagi Indonesia untuk menerapkan pajak penghasilan yang lebih baik.
Warga berkonsultasi dengan petugas pajak saat melapokan SPT tahunan wajib pajak melalui layanan e-Filling Pojok Pajak di pusat perbelanjaan Grand Mall Solo, Jawa Tengah, Selasa (26/3/2019). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
Warga berkonsultasi dengan petugas pajak saat melapokan SPT tahunan wajib pajak melalui layanan e-Filling Pojok Pajak di pusat perbelanjaan Grand Mall Solo, Jawa Tengah, Selasa (26/3/2019). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah menilai bahwa penerapan konsensus pajak global dalam proposal Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting dapat membuka peluang implementasi pajak penghasilan atau PPh yang lebih baik. 

Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menjelaskan bahwa pembahasan penerapan konsensus pajak global oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) masih berlangsung. Menurutnya, Indonesia turut menyampaikan sejumlah aspirasi agar konsensus dapat segera berlaku.

Menurutnya, kesepakatan proposal Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) yang memiliki dua pilar dapat membuka peluang bagi Indonesia untuk menerapkan pajak penghasilan yang lebih baik. Adapun, dua pilar kesepakatan sedang menunggu penetapan resmi.

Penerapan pajak penghasilan bagi perusahaan multinasional menjadi pembahasan banyak negara, sehingga pembahasan konsensus bergulir di OECD.

Pilar satu dari konsensus itu adalah unified approach, yang menurut Yustinus bertujuan untuk memungut PPh dari perusahaan multinasional, khususnya perusahaan digital. Rencana pengenaan pajak itu tidak mempertimbangkan kehadiran fisik, karena selama korporasi sudah mengambil manfaat ekonomi dari negara terkait maka mereka tetap harus membayar pajak.

"Kita masih menunggu redefinisi bentuk usaha tetap [BUT] yang akan menjadi dasar pemajakan, atau pendekatan market intangible yang bisa kita gunakan," ujar Yustinus dalam dialog publik bertajuk Perpajakan di Era Digital, Menelaah UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Kamis (14/10/1994).

Dalam pilar pertama itu, 25 persen laba residual (residual profit) perusahaan terkait akan dialokasikan kembali ke negara pasar. Ketentuan itu berlaku bagi perusahaan multinasional dengan penjualan global di atas 20 miliar euro dan profitabilitas lebih dari 10 persen.

Lalu, dalam pilar pertama terdapat penghapusan digital service tax (DST) atas negara-negara yang lebih dahulu menerapkan pungutan pajak digital pada 8 Oktober 2021–31 Desember 2023.

Pilar kedua adalah Global Anti Base Erosion (GloBE) yang bertujuan untuk menghentikan upaya penghindaran pajak perusahaan multinasional yang umumnya dilakukan karena perbedaan tarif pajak badan antar negara atau yurisdiksi. Berdasarkan pilar ini, ditetapkan tarif global minimum tax adalah 15 persen yang berlaku bagi perusahaan dengan pendapatan di atas 750 juta euro per tahun.

"Pilar dua mengenai GloBE sudah diakomodir di Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan [UU HPP], supaya kita punya landasan hukum yang lebih kuat bila nanti [konsensus pajak global] telah menjadi keputusan global," ujar Yustinus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper