Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi industri baja menyatakan belum akan terdampak kebijakan pajak karbon yang dikenakan pemerintah mulai tahun depan.
Ketua Umum Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) Silmy Karim mengatakan selain menjadi instrumen pengendalian emisi, pajak karbon dalam praktiknya merupakan strategi perdagangan antarnegara.
Jika pajak karbon di Indonesia juga dibebankan sebagai biaya tambahan impor, kebijakan itu berpotensi memberi dampak positif bagi sejumlah industri dalam negeri, salah satunya baja.
"Saya melihat pajak karbon itu bisa menjadi nilai positif untuk [mengendalikan] produk impor, sehingga tentunya akan menguntungkan industri baja dalam negeri," katanya kepada Bisnis, Kamis (14/10/2021).
Silmy mengatakan dalam enam bulan terakhir, utilisasi industri baja cenderung stagnan di kisaran 55 persen hingga 60 persen. Penyebabnya, aliran baja impor di industri hilir kembali membanjiri pasar domestik.
Selain itu, mengenai penerapan pajak karbon Silmy menggarisbawahi kesiapan pemerintah, khususnya dalam memastikan daya saing produk dalam negeri.
Baca Juga
"Mesti dilihat bukan hanya di Indonesia, tetapi pajak karbon di luar negeri dan antisipasi terhadap persaingan industri dan persaingan ekonomi," kata Silmy.
Peneliti di Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef Ahmad Heri Firdaus mengatakan pemerintah perlu mempertimbangkan daya saing industri sebagai dampak dari penerapan kebijakan ini.
"Harusnya industri dapat kompensasi yang bisa mempertahankan daya saingnya, syukur-syukur dapat meningkatkan daya saing," kata Heri.
Heri juga mengatakan penetapan kebijakan ini perlu diikuti dengan langkah berikutnya, yakni penyusunan regulasi yang bisa meningkatkan daya tarik untuk investasi di energi terbarukan.
Selanjutnya, hasil pungutan pajak karbon harus dikembalikan untuk pemulihan lingkungan. Hal yang tak kalah penting adalah alokasi untuk pengembangan energi terbarukan, sehingga dalam jangka panjang dapat mencapai harga yang kompetitif dibandingkan dengan energi fosil.