Bisnis.com, JAKARTA – Dewan Energi Nasional menilai Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2021–2030 harus bisa memberikan jaminan pasokan dan harga yang terjangkau bagi masyarakat untuk bisa mendukung pertumbuhan ekonomi.
Anggota Dewan Energi Nasional Herman Darnel Ibrahim menilai, isu penting yang terdapat dalam RUPTL PLN 2021–2030 adalah terkait dengan keamanan pasokan listrik sampai dengan 2030.
Pasalnya, pengembangan energi baru terbarukan (EBT) mendapatkan porsi paling besar, yakni 51,6 persen dan energi fosil 48,4 persen.
Adapun, kapasitas pembangkit EBT akan ditambah hingga 20.923 megawatt (MW). Kapasitas ini terbagi atas pembangkit listrik tenaga air (PLTA/M/MH) mencapai 10.391 MW, PLTB 597 MW, PLT Bio 590 MW, PLTP 3.355 MW, PLTS 4.680 MW, PLT EBT Base 1.010 MW, dan battery energy storage system (BESS) 300 MW.
“Perkiraan saya PLTP ini biaya eksplorasinya dan biaya mungkin lebih tinggi dari yang sudah-sudah. Ini mungkin bisa mempengaruhi BPP dan tarif biaya jual. Kedua, ini konsekuensinya sulit diselesaikan. Bayangkan, dalam 9 tahun sampai 2030 harus diselesaikan dari jumlah yang sudah ada saat ini,” katanya kepada Bisnis, Selasa (5/10/2021).
Dia menambahkan, PLN harus benar-benar melakukan pengujian terkait dengan rencana penambahan kapasitas dari pembangkit listrik EBT tersebut, apakah dapat diselesaikan tepat waktu sampai dengan 2030.
Baca Juga
Di sisi lain, apabila target itu meleset, maka opsi penggantinya adalah dengan pengembangan pembangkit energi fosil, meski terdapat dampak lain yang disebabkan RUPTL tersebut, yakni tidak tersedia akses pendanaan.
Herman menjelaskan, asumsi-asumsi dalam RUPTL harus sesuai dengan visi DEN, yaitu mewujudkan ketahanan energi nasional untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, mencukupi ketersediaan, aksesibilitas, keterjangkauan, dan penerimaan.
“Kalau asumsi-asumsi ini benar-benar terjadi, menurut saya angka ini oke saja masih layak. Hanya saja kita sama-sama perlu bertanya, bagaimana dampak terhadap biaya pokok dari RUPTL ini. Idealnya dampak itu harus minimum, memang yang aman itu menggunakan batu bara, dan ini kan dikurangi,” jelasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai RUPTL PLN 2021–2030 dalam perspektif target bauran energi dapat dikatakan baik.
Namun, pemerintah perlu berhati-hati agar jangan sampai hal tersebut menimbulkan krisis energi, seperti yang dialami sejumlah negara karena menggantungkan pasokan energi pada EBT.
Dia menilai, memaksakan transisi yang cepat pada akhirnya dapat menimbulkan masalah dalam hal pasokan energi primernya.
Sifat intermiten pada EBT masih memiliki risiko yang besar untuk diandalkan dalam memasok kebutuhan energi masyarakat.
“Untuk pasokan dari EBT umumnya belum stabil seperti fosil, sebagai gambaran untuk PLTS produksinya hanya siang. Jika mengandalkan hanya PLTS tentu risikonya besar, karena ada industri yg pasokan listriknya tidak boleh putus,” katanya kepada Bisnis, Selasa (5/10/2021).