Bisnis.com, JAKARTA – Tren transisi energi dinilai perlu disikapi secara hati-hati agar pasokan energi untuk masyarakat tetap terjamin. Indonesia disebut tidak perlu terburu-buru untuk melakukan perpindahan energi.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan krisis energi yang terjadi di Inggris dan China menunjukkan negara yang sudah lebih siap dalam banyak aspek masih menghadapi risiko. Dia menilai Indonesia sangat berpotensi menghadapi risiko yang sama dengan negara-negara itu
"Indonesia perlu lebih hati-hati dalam menyikapi proses transisi energi," katanya kepada Bisnis, Kamis (30/9/2021).
Menurut dia, krisis energi di China dan Inggris memberikan pelajaran keberlanjutan pasokan sebagai kunci transisi energi. Sepanjang EBT belum bisa menjamin keberlanjutan pasokan, maka peran energi fosil tetap harus dikelola dengan baik secara paralel.
Di samping itu, apabila mengandalakan seluruh pasokan energinya pada EBT, potensi krisis akibat volatilitas harga pun tetap akan terjadi pada EBT.
"Sejauh ini EBT memang lebih mahal, untuk listrik EBT mengalami masalah keberlanjutan pasokan," ungkapnya.
Sebelumnya, Komaidi mengatakan pengembangan EBT di Indonesia tidak dapat disamakan dengan negara-negara maju. Pasalnya, tingkat Produk Domestik Bruto Indonesia masih sangat rendah jika dibandingkan dengan negara-negara maju.
Mengacu pada hal tersebut, maka dia menyebut suatu negara akan fokus kepada isu lingkungan apabila secara ekonomi telah mencapai titik pertumbuhan tertentu. Selain itu, harga listrik yang diproduksi dari pembangkit EBT masih tercatat lebih mahal jika dibandingkan dengan energi fosil.
“Ini harus dilakukan secara hati-hati, ini ditujuannya positif dan menjadi komitmen pemerintah, yang perlu kita sadari antara pertumbuhan ekonomi dan lingkungan harus balance,” ungkapnya.