Bisnis.com, JAKARTA – Krisis energi yang terjadi di China dan Inggris menjadi pelajaran penting bagi pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT).
Pasalnya, dengan dioptimalkannya penggunaan energi hijau itu, maka potensi untuk terhindar dari volatilitas harga energi primer akan semakin besar.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa menjelaskan meski EBT di China sangat berkembang, tetapi bahan bakar fosil masih mendominasi sektor kelistrikan di China. Pada akhir 2020, porsi EBT di China telah mencapai 42 persen atau 943 gigawatt (GW) dan ditargetkan mencapai 50 persen pada 2025.
Fabby menjelaskan kapasitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) China yang cukup besar tidak diikuti dengan tingkat utilisasinya, bahkan di bawah tingkat utilisasi yang normal. Krisis energi diperparah dengan harga komoditas batu bara yang mahal sehingga PLTU justru mengurangi output.
"Dengan kata lain kalau bauran energi terbarukan dominan di sistem, maka tidak akan terkendala atau terpengaruh dengan kenaikan harga energi primer," katanya kepada Bisnis, Kamis (30/9/2021).
Sementara itu, Inggris mengalami krisis energi akibat meningkatnya harga komoditas dan berkurangnya pasokan. Di sisi lain, sumber EBT Inggris mengalami gangguan karena kondisi musim dingin.
Baca Juga
Fabby berpendapat, berkaca dari kejadian di Inggris maka diversifikasi sumber EBT perlu dilakukan guna mengatasi gangguan-gangguan yang dialami.
"Ditambah dengan ketersediaan long term energy storage diperlukan seiring dengan meningkatnya penetrasi variable renewable energy," ungkapnya.
Menurutnya, krisis energi yang dialami China dan Inggris menjadikan pelajaran untuk Indonesia bahwa program dekarbonisasi tidak bisa ditunda dan mengoptimalkan seluruh potensi EBT yang ada seperti panas bumi, hidro, biomass, surya, dan angin.
Dia mencontohkan ketika Indonesia mengandalkan bahan bakar untuk transportasi dari minyak pada saat harga komoditas bergejolak maka dampaknya akan sangat terasa.
Kondisi itu dapat diredam pada saat memanfaatkan bahan bakar nabati ditambah dengan kebijakan proteksi harga pemerintah yang memindahkan volatilitas harga energi menjadi beban pemerintah dalam bentuk subsidi harga energi.
"Kita punya sumber energi terbarukan yang beragam dan kaya dan cukup untuk menggantikan energi fosil," jelasnya.