Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Transisi Energi Bersih, Indonesia Tetap Butuh Migas Sampai 2050

Indonesia diproyeksi masih akan membutuhkan minyak dan gas bumi (migas) hingga 2050, meski di saat yang bersamaan pemerintah terus melakukan transisi energi bersih.
Penampakan proyek pengembangan Lapangan gas Buntal-5 oleh Medco E&P Natuna Ltd./Istimewa - Dok. SKK Migas
Penampakan proyek pengembangan Lapangan gas Buntal-5 oleh Medco E&P Natuna Ltd./Istimewa - Dok. SKK Migas

Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia diproyeksi masih akan membutuhkan minyak dan gas bumi (migas) hingga 2050, meski di saat yang bersamaan pemerintah terus melakukan transisi energi bersih.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan bahwa pemerintah melalui Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) seperti ditetapkan dalam Perpres Nomor 22/2017 memproyeksikan konsumsi minyak dan gas Indonesia pada 2050 mencapai 8,69 juta barel setara minyak per hari (BOEPD).

Kendati RUEN menetapkan porsi minyak dalam bauran energi Indonesia menurun dari paling banyak 25 persen pada 2025 menjadi paling banyak 20 persen di 2050, secara volume konsumsi minyak Indonesia meningkat sekitar 111 persen dari 2,19 juta BOPD pada 2025 menjadi 4,62 juta BOPD di 2050.

Sementara itu, RUEN menetapkan porsi gas dalam bauran energi Indonesia meningkat dari

22,4 persen pada 2025 menjadi 24 persen di 2050. Volume konsumsi gas diproyeksikan meningkat sekitar 171 persen dari 1,76 juta BOEPD pada 2025 menjadi 4,79 juta BOEPD di 2050.

Berdasarkan proyeksi RUEN, total konsumsi minyak dan gas bumi Indonesia akan meningkat sekitar 137 persen, meningkat dari 3,95 juta BOEPD pada 2025 menjadi 9,40 juta BOEPD di 2050,” ujar Komaidi dalam risetnya yang dikutip pada Senin (20/7/2021).

Komaidi menambahkan, titik balik produksi emisi dari negara-negara di kawasan Eropa rata-rata terjadi ketika pendapatan per kapita mereka telah lebih dari US$30.000.

Secara umum, negara-negara di kawasan Eropa baru memberikan perhatian terhadap pengembangan dan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) ketika tingkat kesejahteraan masyarakatnya berada pada level yang cukup tinggi.

Porsi EBT pada bauran energi primer Amerika Serikat pada 2020 misalnya, tercatat baru sekitar 12 persen terhadap total konsumsi energinya. Sementara itu, pada tahun yang sama pendapatan per kapita Amerika Serikat tercatat sekitar US$64.000.

Pada 2020, pendapatan per kapita Indonesia tercatat baru sekitar US$3.900, atau sekitar 6 persen dari pendapatan per kapita Amerika Serikat.

Pada tahap awal, suatu negara akan berfokus pada peningkatan pendapatan per kapita yang disertai dengan meningkatnya produksi emisi. Titik balik akan terjadi ketika produksi emisi telah

mencapai level tertinggi dan pendapatan per kapita suatu negara telah berada pada level yang tinggi,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Muhammad Ridwan
Editor : Lili Sunardi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper