Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Revisi Aturan PLTS Atap Bisa Memberatkan Negara

Biaya pokok penyediaan (BPP) untuk PLTU hanya Rp700–Rp900 per kwh, sedangkan untuk PLTS Atap adalah sebesar Rp1.400 sesuai TDL. 
PLTS Terapung Cirata 145 MW yang terbesar di Asia Tenggara/BKPM
PLTS Terapung Cirata 145 MW yang terbesar di Asia Tenggara/BKPM

Bisnis.com, JAKARTA — Rencana pemerintah untuk merevisi Permen ESDM No49 Tahun 2018 dinilai dapat memberatkan negara.

Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan menjelaskan harga PLTS Atap jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan pembangkit lain. Biaya pokok penyediaan (BPP) untuk PLTU hanya Rp700–Rp900 per kwh, sedangkan untuk PLTS Atap adalah sebesar Rp1.400 sesuai TDL. 

Kewajiban PLN membeli listrik EBT, yang selisih dengan pembangkit fossil ditanggung oleh negara.

“Dengan selisih yang cukup besar ini, maka harus ditanggung oleh negara dengan dana kompensasi yang harus dibayarkan kepada PLN sehingga harus menambah postur baru dalam APBN kita. Ini jelas akan menambah beban keuangan negara apalagi jika PLTS Atap sudah naik secara signifikan apalagi tidak ada batasan kapasitas terpasang sehingga tidak ada kepastian neraca daya.” ujar Mamit dalam keterangan resminya, Jumat (26/8/2021).

Di samping itu, kondisi oversupply listrik yang dialami PLN harus diperparah dengan menerima listrik dari PLTS atap yang bisa menyebabkan pertumbuhan konsumsi listrik tidak meningkat. 

"Jelas ini akan memberatkan PLN apalagi saat ini program 35 GW sudah berjalan dimana skemanya adalah take or pay yang belum terserap semua karena system Jawa-Bali sudah berlebihan pasokan listrik.” ungkapnya. 

Mamit berpendapat, PLN harus tetap menjaga keandalan listrik bagi konsumen PLTS atap karena sifatnya listrik yang dihasilkan intermittent serta listrik yang dihasilkan oleh PLTS Atap efektif disiang hari yaitu jam 10 sampai jam 14.00.

“Ada beban cost yang harus disiapkan oleh PLN karena harus tetap menjaga pasokan listrik ke konsumen. Intemittency ini jadi permasalahan tersendiri karena akan menambah BPP listrik. Saat intermittent ini harus disiapkan pembangkit follower seperti gas atau diesel yang harus tetap standby. Jadi skema 1:1 tidak pas dan cendrung menguntungkan pihak-pihak tertentu," ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Muhammad Ridwan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper