Bisnis.com, JAKARTA – Direktur Utama PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) Suryo Eko Hadianto optimistis proyek dimethyl ether (DME) sebagai pengganti liquefied petroleum gas atau LPG akan mencapai keekonomian pada waktunya.
Suryo mengatakan, saat ini biaya produksi DME masih berada pada kisaran US$490 per ton. Angka itu belum termasuk ongkos carbon capture yang diperkirakan mencapai US$20–US$40 per ton.
“Jadi [harga DME] sekitar US$550 per ton. Tapi di dalam negeri masih ada biaya distribusi, dan sebagainya. Ini masih dalam taraf perhitungan,” ujar Suryo, dikutip Senin (16/8/2021).
Menurutnya, harga tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan harga LPG Saudi Aramco yang saat ini menembus US$660 per ton. Meski demikian, dia menekankan bahwa harga LPG di dalam negeri sekarang ini masih disubsidi oleh pemerintah.
Dia pun optimistis pada suatu titik proyek DME sebagai substitusi LPG akan mencapai keekonomiannya. Apalagi, pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja juga telah memberikan insentif berupa pengenaan royalti hingga 0 persen untuk batu bara yang dimanfaatkan untuk hilirisasi.
“Kami cukup terbantu dengan kebijakan UU Cipta Kerja dan kebijakan menteri ESDM, kaitannya dengan beberapa kemudahan dan insentif. Kami juga bangun proyek ini di area kawasan industri, jadi ada insentif-insentif yang kami dapatkan. Saya yakin ini akan jadi layak pada waktunya,” kata Suryo.
Adapun, PTBA bersama PT Pertamina (Persero) dan Air Products tengah mengembangkan proyek gasifikasi batu bara menjadi DME di Tanjung Enim, Sumatra Selatan, dengan kapasitas produksi mencapai 1,4 juta ton DME per tahun.
Proyek yang ditargetkan dapat rampung pada 2024 tersebut memiliki total investasi mencapai US$2,1 miliar.
Suryo mengatakan, proyek ini akan berkontribusi mengurangi impor LPG pemerintah hingga 1 juta ton LPG per tahun, dan menghemat cadangan devisa sebesar Rp9,71 triliun per tahun, serta neraca perdagangan senilai Rp5,5 triliun per tahun.