Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah pengamat menilai bahwa untuk meningkatkan penerimaan negara dari pajak, pemerintah perlu memperluas tax base (jenis barang dan jasa yang dikenai pajak), tax ratio, dan menaikan PPN (pajak pertambahan nilai) dari semula 10 persen menjadi 12 persen dan mengurangi ketergantungan terhadap penerimaan cukai tembakau.
Hal itu perlu dilakukan mengingat saat ini pemerintah sedang membutuhkan dana besar untuk menanggulangi wabah Covid-19 sekaligus pemulihan ekomomi.
Peneliti Ekonomi dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Christine Chen menjelaskan bahwa perbaikan UU Perpajakan seperti yang sedang dibahas pemerintah bersama DPR saat ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja tetapi juga dunia internasional.
Misalnya, kata dia, seperti kenaikan PPN yang diusulkan pemerintah dari semula 10 persen menjadi sebesar 12 persen. Menurutnya, usulan kenaikan PPN tersebut juga dilakukan negara-negara lain yang tergabung dalam OECD, yang bahkan angka kenaikannya mencapai 15 persen.
“Jadi rencana kenaikan PPN di dalam negeri 12 persen, itu masih dibawah kenaikan PPN di dunia internasional yang rata rata mencapai 15,4 persen,” ujarnya.
Sementara itu, saat ini pemerintah juga sedang mempertimbangkan pengenaan PPN 12 persen dan 15 persen atau dengan sistem multi tarif. Chritine mengaku lebih setuju dengan pengenaan PPN single tarif, yakni 12 persen untuk semua jenis obyek pajak jasa maupun produk, karena sistem ini lebih sederhana dan mudah diterapkan pemerintah maupun pihak lain.
Baca Juga
“Multi tarif akan menimbulkan inefisiensi, sebab biaya administrasinya lebih tinggi. Kalau sistem perpajakan kita sudah oke, kita bisa menerapkan multi tarif. Apakah core tax kita sudah siap untuk menerapkan multi tarif?” ujarnya, seperti dikutip, Selasa (10/8).
Pendapat senada dikatakan Imanina, dosen dan peneliti pada Pusat Pengkajian Kebijakan Ekonomi Universitas Brawijaya Malang. Dia menilai bahwa masih cukup bijak jika pemerintah menaikkan PPN sebesar 12 persen dan memperluas tax base.
Menurutnya, salah satu upaya memperluas tax base adalah pajak carbon bagi perusahaan maupun individu yang kegiatan usahanya dapat mencemari lingkungan. “Pajak carbon sendiri sebenarnya memang telah lama diterapkan di beberapa negara, dengan tujuan untuk kebaikan lingkungan yakni mendorong pengurangan emisi karbon,” ujarnya.
Selain pajak carbon, pemerintah perlu mengenakan cukai bagi industri soda dan plastik, maupun objek pajak lainnya. “Selain mengkonsumsi soda dalam jangka panjang dapat membahayakan kesehatan, penggunaan plastik jangka pendek maupun jangka panjang juga mengganggu lingkungan,” ujarnya.
Pihaknya menilai bahwa saat ini produk industri hasil tembakau (IHT) telah cukup berat dibebani oleh berbagai pajak yang harus ditanggungnya. Pemerintah tidak bisa terus menekan IHT dengan terus menerus menaikkan tarif cukainya.
Hal itu karena konsekuensi dari kenaikan cukai yang eksesif dan terus menerus yang dilakukan pemerintah tidak hanya berdampak negatif pada keberlangsungan IHT saja, tetapi juga memicu semakin maraknya peredaran rokok ilegal, di mana hal itu justru dapat menjadi boomerang bagi penerimaan pemerintah berupa hilangnya potensi penerimaan negara.
Oleh sebab itu dirinya melihat, agar IHT tidak terus menerus menjadi andalan pendapatan negara dari cukai, pemerintah juga perlu meningkatkan tax base ataupun barang barang lain yang masuk dalam barang kena cukai (BKC).
BKC adalah adalah barang-barang yang dibatasi peredaran ataupun konnsuminya atau penggunaannya, Hal ini disebabkan karena menganggu kesehatan maupun dampak eksternalitas negatif seperti kerusakan lingkungan.
“Barang kena cukai yang telah diterapkan di beberapa negara lain dapat diadopsi oleh Indonesia. Komoditi-komoditi yang dapat dimasukkan ke dalam BKC antara lain baterai, freon, makanan dan minuman berkarbonasi, gula, kendaraan bermotor, kartu permainan, peralatan listrik, bahan peledak, parfum, perhiasan, dan komoditi lainnya yang dapat dikaji,” paparnya.