Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tanggung Miliaran Dolar Utang, Sri Lanka Miliki Risiko Default Tertinggi di Asia

Swap default kredit lima tahun negara ini naik menjadi 1.553 basis poin pada Senin (5/7/2021) tertinggi sejak 1 Maret.
Bendera nasional Sri Lankan/ Bloomberg-Taylor Weidman
Bendera nasional Sri Lankan/ Bloomberg-Taylor Weidman

Bisnis.com, JAKARTA - Premi risiko Sri Lanka untuk default melonjak, mencerminkan kekhawatiran bahwa pandemi merusak kemampuan negara itu untuk mengisi pundi-pundi valuta asingnya menjelang US$2,5 miliar utang dolar yang jatuh tempo dalam 12 bulan ke depan.

Swap default kredit lima tahun negara naik menjadi 1.553 basis poin pada Senin (5/7/2021) tertinggi sejak 1 Maret. Menurut model Bloomberg di mana angka di atas 1,5 persen menandakan risiko gagal bayar yang tinggi, ukuran terpisah dari probabilitas default satu tahun berada di angka 27,9 persen, paling curam di Asia, naik dari sekitar 13 persen selama enam bulan lalu.

Ujian pertama datang pada 27 Juli, ketika negara Asia Selatan itu harus membayar kembali obligasi senilai US$1 miliar kepada investor. Pemerintahan Presiden Gotabaya Rajapaksa memperketat kontrol modal minggu lalu, membatasi berapa banyak mata uang asing dapat meninggalkan negara itu, dan spekulasi berkembang bahwa mungkin Sri Lanka perlu beralih ke Dana Moneter Internasional untuk dana tambahan setelah mendapatkan bantuan dari negara-negara termasuk China.

“Sumber daya ini akan memungkinkan Sri Lanka untuk memenuhi sisa jatuh tempo utangnya hingga sisa tahun 2021,” kata Sagarika Chandra, analis utama untuk Sri Lanka di Fitch Ratings, dilansir Bloomberg, Selasa (6/7/2021).

Namun demikian, lanjutnya, tantangan pembayaran utang Sri Lanka akan berlanjut hingga jangka menengah. Pihak berwenang belum menentukan rencana untuk memenuhi kebutuhan pembayaran utang mata uang asing negara itu untuk 2022 dan seterusnya.

Bank sentral berusaha menenangkan investor dengan mengatakan sudah ada pengaturan untuk menyelesaikan obligasi yang jatuh tempo akhir bulan ini.

Nivard Cabraal, Menteri Negara untuk Uang dan Pasar Modal Sri Lanka dan mantan gubernur bank sentral, secara terpisah mengatakan tidak ada pertanyaan tentang melesetnya pembayaran saat ini atau di masa depan.

"Obligasi lain juga akan kami bayar," kata Cabraal, mengutip langkah-langkah seperti kontrol valuta asing dan perjanjian pertukaran dengan China dan Bangladesh.

Namun, ketidakpastian telah mendorong seruan dari beberapa anggota partai oposisi agar Sri Lanka mencari bantuan dari IMF. Pemerintah dan bank sentral mengatakan tidak perlu kembali ke pemberi pinjaman multilateral.

Pemerintah Sri Lanka malah bertujuan untuk mengejar bauran kebijakannya sendiri, termasuk mempromosikan substitusi impor dan menggalang dukungan dari kreditur bilateral termasuk India dan China.

Negara ini mengamankan jalur pertukaran mata uang US$ 1,5 miliar dari Beijing pada Maret, dan mengharapkan arus masuk termasuk fasilitas swap US$ 250 juta dari otoritas moneter Bangladesh, di samping fasilitas US$ 400 juta dari Reserve Bank of India untuk meningkatkan cadangan.

Cadangan devisa mencapai sekitar US$ 4 miliar, tidak termasuk perjanjian swap China, menurut bank sentral. Itu cukup untuk menutupi impor selama tiga bulan.

Kekhawatiran tentang pembayaran mendorong biaya utang dolar Sri Lanka lebih tinggi, dengan imbal hasil obligasi 5,75 persen 2023 melonjak 96 basis poin pada penutupan Senin menjadi 28,7 persen menurut data yang dikumpulkan oleh Bloomberg. Hasil pada obligasi 7,55 persen 2030 mendekati level tertinggi tiga bulan di 16,5 persen.

Aksi jual mungkin berlebihan pada utang tenor pendek, terutama surat utang yang jatuh tempo pada 2023 dan 2024, menurut Ek Pon Tay, manajer portofolio senior untuk utang pasar berkembang di Singapura di BNP Paribas Asset Management.

“Likuiditas jangka pendek negara tidak menjadi perhatian,” kata Tay, yang memprediksi paket IMF terwujud dalam beberapa bulan mendatang dan bank-bank Sri Lanka yang memegang sepertiga dari obligasi Juli 2021, untuk mengalihkan uang itu ke jatuh tempo mendatang lainnya.

"Namun, dalam jangka menengah, risiko baru adalah defisit perdagangan yang melebar karena kenaikan harga minyak," lanjutnya.

Investor juga mengungkapkan keprihatinan tentang kontrol modal Sri Lanka, yang dipandang sebagai cara bagi ekonomi untuk menghindari ketergantungan pada pinjaman luar negeri, dan yang lebih penting menangkal campur tangan dari IMF, yang bantuannya datang dengan persyaratan yang ketat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Reni Lestari
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper