Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

ESDM Kaji Opsi Penciutan Wilayah Tambang Mas Sangihe

PT Tambang Mas Sangihe merupakan perusahaan pemegang Kontrak Karya generasi 6 dan telah melakukan eksplorasi sejak 1997.
Foto udara area bekas tambang emas ilegal di kawasan hutan lindung Ulu Masen antara Kabupaten Pidie dan Kabupaten Aceh Barat, Aceh, Selasa (18/2/2020). Maraknya aktivitas penambangan emas ilegal di kawasan hutan lindung disebabkan minimnya pengawasan dari pihak terkait sehingga dikhawatirkan dapat memicu bencana alam terutama banjir dan tanah longsor. ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas
Foto udara area bekas tambang emas ilegal di kawasan hutan lindung Ulu Masen antara Kabupaten Pidie dan Kabupaten Aceh Barat, Aceh, Selasa (18/2/2020). Maraknya aktivitas penambangan emas ilegal di kawasan hutan lindung disebabkan minimnya pengawasan dari pihak terkait sehingga dikhawatirkan dapat memicu bencana alam terutama banjir dan tanah longsor. ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas

Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah mengevaluasi luasan wilayah Kontrak Karya PT Tambang Mas Sangihe (TMS). Penciutan wilayah menjadi opsi yang sedang dikaji.

Belakangan ini, polemik penolakan kegiatan operasi produksi PT TMS di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, ramai diperbincangkan. Penolakan ini juga telah disampaikan oleh mendiang Wakil Bupati Sangihe Sulawesi Utara Helmud Hontong kepada Kementerian ESDM, beberapa waktu lalu.

Terkait penolakan tersebut, Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan dan Tata Kelola Minerba Irwandy Arif mengatakan Kementerian ESDM harus bertindak sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan yang ada, termasuk menghormati kontrak karya yang telah ditandatangani.  

PT TMS juga telah memperoleh persetujuan Keputusan Kelayakan Lingkungan dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) pada 25 September 2020. Dalam izin lingkungan itu, dalam waktu jangka pendek kegiatan usaha pertambangan yang diperbolehkan hanya seluas 65,48 hektar (ha) dari total luas wilayah KK PT TMS seluas 42.000 ha.

Adapun, pemerintah saat ini melakukan evaluasi luasan wilayah KK PT TMS seluas 42.000 ha tersebut.  Sedang dipertimbangkan luas wilayah tersebut diciutkan menjadi 25.000 ha.

"Izin lingkungan dari 42.000 ha itu baru 65 ha yang boleh digarap untuk penambangan.  Itu bertahap nanti dan ini sebenarnya sudah menampung aspirasi yang masuk ke Kementerian ESDM.  Namun, angka ini belum final.  Tadi malam Dirjen Minerba, asosiasi pertambangan, dan TMS mendiskusikan masalah ini," ujar Irwandy dalam sebuah diskusi, Jumat (25/6/2021).

Lebih lanjut, dari total wilayah TMS yang memiliki prospek untuk ditambang adalah seluas 4.500 ha. Saat ini, dokumen feasibility study yang sudah masuk ke Kementerian ESDM baru untuk wilayah prospek Bawone (200 ha) dan Binabase (300 ha).  

TMS merupakan perusahaan pemegang Kontrak Karya generasi 6 dan telah melakukan eksplorasi sejak 1997. Pada 15 Oktober 2019, perusahaan ini telah memperoleh persetujuan tekno-ekonomi atas dokumen studi kelayakan dari Ditjen Minerba.  

Berdasarkan persetujuan tekno-ekonomi dan persetujuan lingkungan dari Pemprov Sulut, PT TMS telah meningkatkan tahap menjadi tahap operasi produksi pada 29 Januari 2021.

Irwandy menegaskan TMS telah memenuhi persyaratan sesuai ketentuan dalam melaksanakan ekgiatan usaha pertambangan, utamanya dalam bentuk KK dan persetujuan lingkungan.

"Kementerian ESDM meyakini kegiatan usaha pertambangan PT TMS akan memberikan dampak nyata bagi pengembangan wilayah.  Dampak nyata tersebut melalui penerimaan negara dan program pengembangan dan pemberdayaan sekaligus dapat membantu upaya mengeliminasi kegiatan tambang ilegal di Pulau Sangihe," kata Irwandy.

Sementara itu, Koordinator Jatam Nasional Merah Johansyah menilai opsi penciutan wilayah bukanlah solusi. Dia pun meminta agar Menteri ESDM segera menyetop dan mencabut izin usaha pertambangan TMS.  

Menurutnya, luas konsesi wilayah TMS mengancam lebih dari setengah luas Kabupaten Kepulauan Sangihe yang hanya mencapai 73.698 ha. Kegiatan pertambangan tersebut juga dinilai bertentangan dengan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Selain itu, kegiatan pertambangan juga dinilai mengancam hutan tersisa dan spesies endemik setempat.

"Masih ada pilihan ekonomi lain untuk dikembangkan di Sangihe di luar opsi pertambangan. Ada potensi ekonomi lain yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan yang bisa lebih menyejahterakan rakyat," kata Johansyah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper