Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Indeks Kesehatan Laut Indonesia Buruk, Nilai Ekonomi Terimbas

Berbagai faktor menjadi penyebab rendahnya indeks OHI Indonesia, termasuk pencemaran laut (plastik dan limbah) serta perubahan iklim penyebab degradasi ekosistem laut.
Keindahan salah satu objek wisata bawah laut di Raja Ampat./Bisnis-Fariz Fadhilah
Keindahan salah satu objek wisata bawah laut di Raja Ampat./Bisnis-Fariz Fadhilah

Bisnis.com, JAKARTA – Indeks Kesehatan Laut (Ocean Health Index/OHI) Indonesia berada di peringkat 137 dari 221 negara pada 2018 berimbas kepada berkurangnya nilai ekonomi kawasan.

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan TB Haeru Rahayu mengatakan berbagai faktor menjadi penyebab rendahnya indeks OHI Indonesia, termasuk pencemaran laut (plastik dan limbah) serta perubahan iklim penyebab degradasi ekosistem laut.

Padahal, lanjutnya, dengan kondisi kesehatan terumbu karang yang baik memiliki manfaat bagi biota yang hidup di dalamnya serta manfaat ekonomi bagi masyarakat pesisir.

Terumbu karang yang sehat juga dapat mendukung aktivitas sektor pariwisata yaitu menyelam, untuk mendatangkan wisatawan dalam negeri maupun luar negeri.

“Indeks kesehatan laut ini memengaruhi kesehatan laut dan mengurangi nilai ekonomi suatu kawasan”, katanya melalui keterangan resmi, Senin (21/6/2021).

Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Sesmenko Marves) Agung Kuswandono juga mengatakan terumbu karang menjadi bagian penting dari ekosistem laut yang perlu dijaga dan dilestarikan keberlanjutannya karena berkontribusi lebih dari US$120 miliar per tahun untuk ekonomi global, dan khusus kawasan segitiga karang US$14 miliar/tahun.

Terumbu karang, lanjut Agung, memiliki fungsi penting sebagai sumber pangan, tempat pemijahan, pengasuhan, dan mencari makan bagi biota laut. Selain itu terumbu karang juga menurutnya berfungsi sebagai sumber plasma nutfah serta tempat rekreasi dan pelindung pantai.

“Artinya terumbu karang merupakan tempat asuh dari semua makhluk hidup di lautan. Kalau itu rusak tentu akan berdampak luar biasa, ikan kecil tidak bisa hidup maka habislah sumber daya alam kita. Kemudian sebagai tempat rekreasi, jangan sampai yang dilihat adalah karang-karang yang mati,” katanya.

Dia juga memaparkan, berdasarkan laporan PBB bahwa 2019 merupakan tahun terpanas, suhu global diperkirakan naik 1,1 derajat celcius di atas era pra industri (1850-1900).

Hasil studi (UNEP) memperkirakan 90 persen terumbu karang dunia akan lenyap pada 2050. Ini disebabkan oleh pengasaman laut karena tingginya CO2, penangkapan ikan berlebihan, serta menurunnya kualitas air. Untuk mencegah pemanasan di atas 1,5°C,dunia perlu mengurangi emisi sebesar 7,6 persen setiap tahun.

Terkait hal ini, Agung mengatakan saat ini terdapat banyak kegiatan untuk restorasi terumbu karang salah satunya melalui program Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP), ICRG, dan lainnya. Namun menurutnya kegiatan tersebut masih dinilai kurang untuk memperbaiki terumbu karang yang rusak atau terdegradasi.

Menurutnya, untuk memperbaiki terumbu karang yang terdegradasi tidak hanya dengan menanam tetapi juga memperbaiki lingkungan hidupnya salah satunya dengan mengurangi sampah plastik agar terumbu karangnya bisa hidup dengan baik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper