Bisnis.com, JAKARTA — Ancaman digitalisasi terhadap sektor ketenagakerjaan di Indonesia tidak main-main. Dalam perjalanan pemerintah menuju iklim ketenagakerjaan yang sesuai dengan kemajuan teknologi, tingkat pengangguran tertinggi saat ini justru melanda angkatan kerja berpendidikan tinggi.
Berdasarkan data BPS, jumlah angkatan kerja berpendidikan tinggi berstatus setengah menganggur ataupun benar-benar menganggur menanjak signifikan tahun ini. Jumlah angkatan kerja yang setengah menganggur tahun ini sebanyak 7,2 persen dari total, naik dari 3,9 persen tahun lalu.
Sementara untuk angkatan kerja berpendidikan tinggi yang tercatat sebagai penganggur terbuka, BPS mencatat jumlahnya sebanyak 7,5 persen dari total, naik dari tahun lalu di mana jumlahnya sebanyak 5,7 persen.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal menilai hal tersebut menjadi masalah bagi rencana pemerintah dalam membangun tenaga kerja yang mampu mengikuti perkembangan zaman lantaran fakta tersebut berkebalikan dengan asumsi bahwa makin tinggi pendidikan makin mudah dalam mencari pekerjaan.
"Banyak justru penumpukan pengangguran terjadi kepada orang-orang berpendidikan tinggi. Ini berarti ada permasalahan dalam hal penciptaan lapangan pekerjaan yang bisa menyerap orang-orang berpendidikan tinggi," ujarnya, Senin (3/2/2021).
Dalam kondisi seperti itu, lanjutnya, serta adanya dorongan digitalisasi terhadap efisiensi dan daya saing di dunia kerja, maka diperlukan keseimbangan antara sisi penawaran dan permintaan, dan pasar kerja.
Dalam hal penawan, Faisal mengatakan diperlukan adanya ketersediaan lapangan kerja yang memadai secara kuantitas dan kualitas, sedangkan di sisi demand diperlukan ketersediaan tenaga kerja dengan keterampilan yang memadai dan sesuai dengan kebutuhan.
Adapun, pasar kerja diharapkan juga mampu mempertemukan permintaan dan penawaran terhadap tenaga kerja secara efektif dan efisien.