Bisnis.com, JAKARTA – Pergerakan harga kedelai global yang melanjutkan tren kenaikan dipastikan bakal berdampak pada harga di industri pengguna.
Namun, penyesuaian harga di tingkat konsumen dikhawatirkan bisa mengganggu daya beli.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah menyebutkan ketergantungan yang tinggi pada kedelai impor sebagai bahan baku tahu dan tempe bakal secara stimulan mengerek biaya produksi di tingkat perajin. Meski demikian, menaikkan harga bukanlah opsi yang tepat jika melihat kondisi masyarakat saat ini.
“Bagaimanapun tahu dan tempe adalah sumber protein alternatif, terutama bagi masyarakat menengah ke bawah yang makin kesulitan mengakses daging ayam atau sapi karena harga naik. Saya kira kalau menaikkan harga justru bisa mengganggu daya beli,” kata Rusli, Senin (3/5/2021).
Rusli juga mengusulkan agar pemerintah memberikan insentif kepada para perajin agar produksi bisa efisien. Dengan demikian, harga di konsumen tetap terjaga.
Intervensi pun bisa dilakukan pemerintah dengan bekerjasama dengan para importir untuk memastikan pasokan tetap terjaga. Hal ini bisa dilakukan dengan memberi dukungan dalam terselenggaranya kontrak pembelian.
Baca Juga
“Jadi dalam skenario ada kenaikan permintaan yang besar di China, Indonesia tetap bisa mengamankan pasokan dan tidak terjadi kelangkaan yang bisa memperburuk kondisi,” lanjut Rusli.
Direktur Asosiasi Kedelai Indonesia (Akindo) Hidayat menilai kenaikan harga tahu dan tempe di tingkat konsumen tidak akan terlalu menimbulkan masalah selama informasi harga disampaikan secara terbuka. Di sisi lain, dia menyebutkan transparansi harga dari tingkat importir, distributor, dan perajin juga telah jelas.
Sejauh ini, Hidayat mengatakan permasalahan soal harga kedelai impor masih berkutat pada fluktuasi di tingkat importir yang berlangsung cepat. Di sisi lain, pergerakan harga yang cepat ini belum bisa disesuaikan dengan cepat oleh perajin.
Hidayat melaporkan harga kedelai di tingkat importir sampai saat ini telah berada di kisaran Rp9.500 sampai Rp9.600 per kg. Harga ini lebih tinggi dibandingkan dengan harga ideal yang dipatok pemerintah, yakni di kisaran Rp9.200 sampai Rp9.300 per kg.
“Dari perajin sempat mengusulkan agar kenaikan harga ini berjeda. Tetapi belum bisa diikuti importir karena mengikuti pergerakan harga global. Kondisi ini yang belum mencapai solusi,” kata Hidayat.