Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Soal IKN, Kota Bukan Karya Seni Arsitektur, Perlu Dikaji Ulang

Pemerintah telah memutuskan pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Dalam hal ini pemerintah disarankan untuk mempertimbangkan secara objektif mengenai realisasinya.
Pradesain Istana Negara berlambang burung Garuda di ibu kota negara (IKN) baru di Kalimantan Timur karya seniman I Nyoman Nuarta./Twitter
Pradesain Istana Negara berlambang burung Garuda di ibu kota negara (IKN) baru di Kalimantan Timur karya seniman I Nyoman Nuarta./Twitter

Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah diingatkan bahwa kota bukan tercipta secara spontan dan bukan merupakan karya seni arsitektur, menurut Chandra Rambey, CEO PT Provalindo Nusa, perusahaan konsultan dan penasihat bisnis.

Dia mengemukakan hal itu berkaitan dengan rencana pemerintah membangun ibu kota negara (IKN) baru di Kalimantan Timur.

Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan nasionalPPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, groundbeaking pembangunan IKN akan dilakukan pada tahun ini, ditandai dengan peletakan batu pertama pembangunan Istana Negara yang baru.

Menurut Chandra, pembangunan IKN tentu memakan biaya tidak sedikit sehingga perlu dipertanyakan secara objektif.

Dia mengisahkan bahwa rencana pemindahan IKN pernah dikaji beberapa Presiden Indonesia sebelumnya. Baru pada awal 2020 Presiden Joko Widodo Jokowi memutuskan untuk memindahkan ibu kota ke Kaltim.

Proyek ini diperkirakan memakan biaya Rp466 triliun dengan pemerintah akan membiayai sekitar 19 persennya, sementara sisanya berasal dari skema public-private partnership dan investasi swasta.

Biaya tersebut termasuk pembangunan kantor-kantor pemerintah yang baru beserta tempat tinggal untuk sekitar 1,5 juta aparatur sipil negara (ASN).

Sungguh pun Kementerian PUPR memberikan estimasi investasi dengan simulasi pesimis yang berkisar Rp200 triliun hingga Rp300 trilliun, kata Chadra mengutip penelitian Mobaroq dan Solikin pada 2019, pada dasarnya ini masih cukup tinggi atau berada pada kisaran 13 persen hingga 14 persen belanja negara dari APBN 2018.

Dia mengemukakan terdapat beberapa argumen mengapa IKN harus dipindahkan ke wilayah yang jaraknya hampir 1.000 km dari Jakarta, ibu kota dan pusat bisnis Indonesia saat ini.

Agurmen tersebut umumnya berpendapat bahwa Jakarta dianggap sudah “tidak  layak” sebagai ibu kota dengan kondisi macet, penuh sesak, dan banjir serta sebagai upaya pemertaan ekonomi.

"Namun, apakah pemindahan ibu kota solusi yang tepat? Pemindahan ibu kota akan menjadi solusi yang sangat mahal dan tidak efektif.,” kata Chandra.

Dalam banyak artikel dan buku seperti The Skeptical Environmentalist (Lomborg, 1998) dan Cool It (Lomborg, 2007), lanjutnya, yang ditulis Bjørn Lomborg, Presiden Copenhagen Consensus Center, telah menekankan bagaimana masalah lingkungan harus ditangani dengan cara yang berkelanjutan secara ekonomi.

Sekarang, dengan populasi ASN pemerintahan pusat yang diperkirakan sekitar 150.000 orang, angka yang tidak signifikan dibandingkan dengan jumlah penduduk Jakarta yang kurang lebih sebesar 4 juta orang apabila argumentasi untuk mengatasi kesesakan, kepadatan dan kemacetan Kota Jakarta.

Biaya, yang muncul, tidak hanya biaya ekonomi, tetapi juga biaya sosial lainnya yang tampaknya tidak proporsional bila dibandingkan dengan manfaat nyata yang ada. Apalagi di tengah kondisi Pandemi yang masih mengganas di Indonesia, alangkah lebih baiknya dana tersebut dialihkan untuk pos anggaran yang lebih relevan.

Selain itu adanya beberapa solusi yang secara “ekonomi” lebih murah untuk mengurangi masalah yang terjadi di Jakarta ketimbang memindahkan seluruh pusat administrasi negara, seperti dengan meningkatkan anggara pembangunan transportasi publik massal seperti MRT dan membangun perumahan rakyat berjenis vertikal di tengah kota untuk mengurangi jumlah penduduk yang berpergian dari wilayah daerah penyangga ibu kota.

Berkembangnya suatu daerah menjadi suatu kota apalagi menjadi Ibukota Negara terjadi akibat berbagai proses organik yang mencakup para penduduk yang ada didalamnya.

Jane Jacobs seorang ahli tata kota asal Amerika Serikat menyatakan perkembangan sebuah komunitas perkotaan tidak bisa didekati melalui perspektif arsitektur semata, karena apabila diikuti dengan pendekatan tersebut maka hanya akan menimbulkan masalah dimana para penata kota mereduksi “kehidupan yang ada didalam kota” menjadi karya seni belaka.

Sebuah kota-atau wilayah secara umum-tidak bisa dilihat hanya sebagai sekumpulan sumberdaya fisik yang hanya bisa digunakan sebagai “karya seni”, melainkan kota dan wilayah merupakan sebuah jaringan hubungan yang kompleks dimana manusia merupakan faktor yang signifikan dalam mendorong perkembangannya menjadi suatu kawasan pemukiman yang hidup.

Oleh karena itu, memindahkan ibu kota serta menjadikan kawasan tersebut menjadi wilayah yang hidup dengan penuh aktivitas ekonomi bukanlah perkara yang dapat terjadi secara instan.

Perlu waktu lama dan bertahap agar sebuah kota menjadi hidup dengan penuh kegiatan dan interaksi sosial pada masyarakat yang ada didalamnya.

“Tentu kita tidak ingin IKN baru malah nantinya menjadi seperti ibu kota Myanmmar yang baru dimana tempat tersebut sepi dengan jumlah populasi yang sedikit dan tidak ada kehidupan. Bahkan ibu kota negara baru Malaysia, Putra Jaya, juga tidak sesuai dengan harapan padahal jaraknya relatif dekat dengan Kuala Lumpur,” paparnya.

Maka dari itu, dia menyatakan rencana pemindahan IKN sebaiknya perlu dikaji ulang disebabkan alasan objektif dari bebagai sisi seperti perencanaan (arsitektur kota), pembiayaan, dan lingkungan.

Selain kebutuhan dana yang terlampau besar dan tidak ekonomis, tidak ada jaminan bahwa IKN yang baru akan hidup dengan aktivitas ekonomi yang massif seperti di Jakarta.

Jangan sampai infrastruktur yang sudah susah payah dibangun di Penajam Paser Utara, Kaltim, malah akhirnya tidak terpakai secara baik, yang pada akhirnya malah memboroskan anggaran negara.

Oleh karena itu, pemerintah lebih baik menggunakan pos anggaran tersebut untuk hal-hal yang jauh lebih bermanfaat untuk kemashalatan masyarakat.

Sekali lagi Chandra mengutip Jacobs, para ahli telah memperingatkan tentang arti sebuah kota yang baik, bukan hanya kawasan atau kota yang “indah”, melainkan keindahan sebuah kota timbul akibat adanya koordinasi yang spontan antara perencanaan serta kebutuhan masyarakat yang timbul di dalamnya sehingga kota tersebut dapat tumbuh secara organik.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper